Peni Candra Rini, “Sang Profesor Sinden”

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

Peni_5.jpg

Dua puluh delapan tahun silam lahir seorang bayi perempuan di desa Ngentrong Campurdarat Tulungagung dari pasangan pak Wagiman Gondocarito dan emak Sukinem. Bayi perempuan tersebut adalah buyut mbah Seran seorang pemain gender (alat musik gamelan) di desa pesisir yang lokasinya tidak jauh dari bukit batu gamping  yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Peni Candra Rini, demikianlah nama itu diberikan pada bungsu dari tiga bersaudara anak pak Wagiman Gondocarito yang berprofesi sebagai dalang tersebut. Ki dalang yang tinggal di desa dengan tanggapan yang tidak menentu ini sehari-hari masih harus melakoni profesi sebagai nelayan untuk menambah penghasilannya.

Peni_Candra_Rini.jpg 

Cerita bahagia berawal dari seorang Peni kecil yang sering mengikuti kegiatan bapaknya pergi ke pantai Brumbun yang terletak di kecamatan Campurdarat. Dengan berjalan kaki selama tiga jam Peni kecil menemani bapaknya untuk mencari ikan. Dalam perjalanan ke pantai yang cukup jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki tersebut,  sesekali Peni kecil kelelahan dan harus disunggi (digendong diatas pundak) sang bapak sambil diminta untuk nembang mocopat (menyanyikan lagu tradisional Jawa) sebagai pelipur lara dan untuk menghafal tembang yang sudah diajarkan sang bapak. 

Belajar nembang mocopat merupakan pelajaran wajib yang dijalani Peni kecil saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebagai anak perempuan seorang dalang dan buyut penabuh gender, kewajiban untuk bisa nembang mocopatan menjadi harga mati yang diajarkan oleh sang bapak untuk menjadikan Peni kecil sebagai seorang sinden. Sodo (batang lidi) dan uang cepek (seratus rupiah) selalu terselip di tangan pak Wagiman saat Peni kecil pulang dari sekolah. Belajar nembang setiap pulang sekolah merupakan menu wajib yang diajarkan bapaknya. Sodo bagi Peni kecil merupakan ‘ancaman’ yang menyeramkan kalau dia sampai salah atau tidak hafal saat nembang. Sementara uang cepek  merupakan ‘iming-iming’ yang menggiurkan untuk uang jajan di sekolah keesokan hari, uang cepek tersebut  akan dia dapatkan kalau bisa nembang dengan benar. “Kejam...., kadang dulu aku mikirnya gitu, tapi bapak adalah yang mengukir jiwa ragaku hingga aku seperti sekarang ini” ungkap Peni ceplas ceplos dengan logat Jawa Timurnya.

Peni_1.jpg 

Peni Candra Rini, sampai saat ini masih terus menyimpan kenangan lucu masa kecil yang mengantarkannya hingga bisa keliling dunia dan berbagi ilmu tentang seni nembang dan gamelan ke beberapa negara termasuk Amerika. Setamat sekolah menengah pertama di daertah asalnya, Peni melanjutkan sekolah ke SMKI di kota Solo, kemudian kuliah di Jurusan Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Selain gemblengan yang dia terima di bangku sekolah dan pendidikan ‘keras’ di masa kecil, pementasan demi pementasan, keluar masuk kampung sebagai sinden disaat usianya masih muda-pun menjadikan Peni semakin matang sebagai sinden seperti harapan sang bapak.

“Yang penting tidak lepas dari pakem tradisi saat kita mau belajar menjadi sinden, belajar tentang cengkok, gendhing, mengerti karakter vokal dan tembang, dan melewati semua proses dengan sungguh-sungguh,...” ungkap Peni dengan semangat saat ditanya tentang apa yang diajarkan ke mahasiswanya. “Setelah itu semua dikuasai dengan benar, silahkan tampil sebagai diri sendiri,  dan mengembangkan dengan gaya sendiri, terus saja berkarya” sambungnya sambil menunjukkan foto-foto saat berkarya di Amerika.  

“Sebagai sinden saya akrab disapa dengan panggilan profesor waktu mengajar di luar. Panggilan itu biasa digunakan para mahasiswa beberapa universitas di luar negeri ketika memanggil dosennya, termasuk saat saya mengajar disana’’ ungkap Peni perihal predikat ‘Profesor’ yang disandangnya saat menjadi dosen di Amerika. Sebutan tersebut membuatnya bangga, setidaknya perjalanan panjangnya tidak sia-sia, meskipun hanya sebatas sebutan atau panggilan dari muridnya di Amerika, semua bentuk apresiasi positif atas jerih payahnya memegang teguh tradisi yang diajarkan sang bapak sudah terwujud di depan mata. Sinden yang diimpikan Ki Wagiman Gondocarito dari sosok Peni kecil, ternyata tumbuh menjadi sinden yang tidak biasa saja, tapi sinden yang sejajar dengan para profesor di negeri nun jauh disana.

Perempuan lajang asal desa Ngentrong ini sudah melanglang buana ke banyak negara termasuk Amerika dan berbagai negara di benua Eropa. Mengajar gamelan di California Institut of the Art, dan konser di beberapa kampus antara lain Universitas Washington dan Gamelan Concert di Univesitas San Diego. Sebagai sinden-pun dia sering tampil di panggung dunia antara lain di Lincoln Center New York dan di Lacma Los Angeles. Juga tampil bareng Rob Kapilow di Lincoln Center pada acara White Light Festival, mengikuti ensamble improvisasi dengan Susan Allen dan Roman Stolyar di Roy O Disney Aula California Institut of the Art. Dengan Los Angeles Listrik 8 untuk World Festival of Sacred Music, Harare International Festival of the Art dan banyak lagi kiprahnya di panggung pertunjukan seni mancanegara.

Peni_3.jpg 

Prestasi di negeri orang-pun pernah dia raih dengan mendapat penghargaan medali perak untuk vokal terbaik pada Festival Seni Musim Semi Persahabatan di Pyongyang Korea Utara. Dan kini selain sebagai seorang sinden sekaligus komposer musik kontemporer yang berstatus sebagai dosen di kampus ISI Solo, Peni masih akan terus berbagi ilmu dan pengetahuannya seputar nembang dan gamelan kepada ‘murid-muridnya’ di beberapa negara, termasuk rencananya untuk ke Amerika karena diminta kembali mengajar disana. Bagi Peni Candra Rini , dia akan selalu siap membagi keahliannya sebagai seorang sinden sekaligus sebagai ‘Sang Profesor’ bagi murid-muridnya di Amerika. Salam Kratonpedia.  (bersambung - "Kala Kembang Bertemu Kumbang”- 21 April 2012)

Peni_4.jpg 

(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia) 

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos