Siapakah “GURUH GIPSY” ?

Mohamad Axel Putra Hadiningrat
Artikel oleh : Mohamad Axel Putra Hadiningrat
Foto oleh : Dennysakrie's blog
Pin It

Musik Progressive bukanlah music Pop yang banyak diminati orang, ketika kita mendengar lagu-lagu beraliran “progressive” pasti yang terlintas dibenak kita adalah “musiknya terlalu berat” atau terkesan “gak ngerti” dan lain sebagainya. Itulah kesan pertama yang saya rasakan saat saya mendengarkan lagu dari band “Genesis” salah satu band progressive rock dari Inggris yang diawaki oleh Peter Gabriel, Phil Collins dan kawan-kawan. Lagu Genesis yang saat itu saya dengarkan berjudul “Firth of Fifth”. Dari album mereka “Selling England by the pound”  (1973) Lagu berdurasi 9 menit lebih itu pertama kali memperkenalkan saya terhadap music progressive, music yang sangat megah, dimainkan dengan teknik luar biasa namun terkadang sangat sulit untuk dimengerti. Bagi saya yang telinganya masih dikategorikan sebagai “telinga awam” membutuhkan waktu untuk bisa benar-benar mengerti dan menikmati jenis musik seperti ini, namun lama kelamaan sayapun dapat memahaminya. Kemudian siapa sangka jika kita memiliki “Genesis” versi Indonesia?

b3c1840e69b71b95545da70d198a9461.jpg  

Ya! Si “Genesis” itu adalah “Guruh Gipsy”. Bukan berarti karena saya bilang Guruh Gipsy adalah Genesis-nya Indonesia dengan demikian Guruh Gipsy adalah imitasi atau plagiat, Namun yang saya maksud , Guruh Gipsy adalah band Indonesia yang menjadi pilar kebangkitan musik Progressive Rock di Indonesia pada saat itu (tahun 70’an). Guruh Gipsy adalah band Indonesia yang sudah hampir 40 tahun kemudian masih dikenang, diperbincangkan bahkan diberi banyak pujian. Guruh Gipsy terdiri dari 6 personil diantaranya ada Keenan Nasution sebagai drum dan vocal, lalu ada Guruh Soekarnoputra sebagai penulis lirik, Piano player dan gamelan, ada Chrisye yang saat itu berumur 27 tahun sebagai Bass Player dan vocal, Roni Harahap sebagai keyboard, Oding Nasution sebagai Gitar dan yang terakhir ada Abadi Soesman sebagai Synthesizers. Di band Guruh Gipsy lah Christian Rahadi atau yang akrab dipanggil “Chrisye” pertama kali bernyanyi sebelum album solo pertamanya “Jurang Pemisah” dirilis satu tahun kemudian.

Guruh_Gipsy.jpg 

Guruh Gipsy adalah nama band sekaligus judul album yang dirilis tahun 1976 dalam versi kaset pita dan booklet. Logo berbentuk tulisan kaligrafi yang terpampang dicover depan album Guruh Gipsy adalah Kaligrafi Dasabayu dalam aksara Bali karya Ayik Soegeng, Kaligrafi tersebut merupakan rangkaian 10 aksara bali dengan makna tertentu. I-A berarti kejadian dan keadaan, A-Ka-Sa berarti kesendirian dan kekosongan, Ma-Ra berarti baru, La-Wa berarti kebenaran dan Ya-Ung berarti sejati. Ada mitos yang berkembang bahwa kombinasi dari 10 aksara tersebut di zaman dahulu kala oleh masyarakat Bali diyakini mengandung tuah, dan jika diterjemahkan aksara bali tersebut digambarkan sebagai suatu keadaan yang hampa dan kosong dan kelak akan berubah menjadi kebenaran yang hakiki.

luki.jpg 

Terlihat, bahwa walaupun band ini dikategorikan sebagai band “proyekan” dari band Gipsy dan Guruh Soekarnoputra namun kita dapat menilai bahwa band ini sangat serius dalam meramu konsep yang ingin mereka suguhkan bagi pendengarnya. Hal itu kemudian dibuktikan lagi melalui musikalitas mereka dalam album ini. Band ini menggabungkan musik Rock Progressive Barat dengan unsur musik Tradisional Bali yang dibalut dengan nuansa gamelan Bali yang khas. Kombinasi tersebut dapat kita telaah dari lagu mereka di album ini berjudul “Indonesia Mahardikka” berdurasi 15 menit 38 detik yang belum pernah ada pada lagu-lagu Indonesia sebelumnya. Lagu ini menyajikan musik yang kaya dan megah, membukakan mata saya yang pada awalnya tidak percaya bahwa orang Indonesia dapat memainkan musik dengan kualitas tinggi seperti ini pada zamannya (tahun 70’an), lalu yang menjadi menarik dari lagu ini adalah gamelan bali yang khas dipadukan dengan instrument modern lain seperti contohnya Syntesizer, dan entah kenapa, ketika saya mendengarnya saya terhanyut dalam konsep dan maksud dari musik Guruh Gipsy, mereka begitu berani bereksperimen dengan instrument-instrument yang mereka gunakan. Semangat musikalitas yang penuh dengan inovasi dan eksperimen inilah yang saya rindukan dari industry musik Indonesia saat ini yang tak beranjak dari “comfort zone” mereka.

 chrisye.jpg

Di album ini juga ada format lagu “Smaradhana” yang asli sebelum kembali dinyanyikan lagi oleh Chrisye dalam album keduanya “Sabda Alam” yang juga kemudian menjadi salah satu lagu yang “hits” dari album tersebut. Guruh Soekarnoputra sangat optimis dalam menyampaikan idenya tentang nasionalisme dan kecintaannya terhadap Indonesia melalui karya yang ia berikan, Persoalan kritik sosial juga menjadi tema dalam salah satu lagu guruh gipsy berjudul Chopin Larung yang mengkritik modernisasi yang melindas kebudayaan Indonesia lewat liriknya yang dikiaskan pada Fredrych Franciszek Chopin komponis asal Polandia dengan bahasa Bali “Sang jukung kelapu-lapu, santukan baruna kroda Nanging Chopin nenten ngugu, kadangipun ngarusak seni budaya!” yang artinya “Perahu terombang-ambing, karena dewa laut murka. Namun Chopin tiada memahami bangsanya merusak seni budaya!” (www.revi.us)

guruh_gipsy_1.jpg 

Album ini menempati peringkat kedua album musik terbaik Indonesia versi majalah Rolling Stone setelah album dari soundtrack film “Badai Pasti Berlalu” karya Eros Djarot dan Yockie Suryoprayogo yang menduduki peringkat pertama. Walaupun demikian album Guruh Gipsy ini kurang menjual pada saat itu dimana masyarakat Indonesia sedang menggilai musik-musik dari band seperti God Bless, Koes Plus, Panbers, The Mercy’s dan lain-lain. menyikapi hal tersebut Guruh Soekarnoputra berkata bahwa boleh jadi memang lagu-lagu dari Guruh Gipsy ini terlalu berat untuk dicerna oleh umum, namun terlepas dari itu hati sanubari mereka ingin sekali memproduksi hasil karya seni sebaik mungkin dan juga Guruh Gipsy ingin mengajak para pemuda-pemudi Indonesia untuk memperhatikan kesenian dalam negri, sehingga Guruh Gipsy tetap teguh pada keyakinan mereka dan sengaja melupakan beberapa segi komersil. Guruh juga berharap bahwa musik seperti Guruh Gipsy perlu dikaji oleh khalayak umum, seperti esensi-esensi yang terkandung dalam musikalitas mereka baik dalam segi estetika/keindahan, teknik, ataupun maksud mereka memproduksi musik seperti ini.

gg2.jpg 

Seiring berjalannya waktu band dengan konsep kualitas tinggi inipun bubar dan hanya memproduksi satu album yang mereka produksi sendiri secara patungan dari masing-masing personilnya. Jika kita pernah dikenalkan dengan istilah “Band Indie”. Guruh Gipsy lah menurut saya yang pertama kali memperkenalkan konsep band Indie dimana mereka benar-benar memproduksi segala macamnya dengan modal sendiri sampai dimana album Guruh Gipsy ini diproduksi ulang secara Illegal tanpa sepengetahuan Guruh Gipsy pada tahun 2006 dalam format “Vinyl/Piringan Hitam” oleh Shadoks Records perusahaan rekaman di Jerman, namun produksinya dihentikan setelah Keenan Nasution menggugatnya. Sisa dari produksian Shadoks Records tersebut hingga kini masih menjadi perbincangan dan menjadi incaran para kolektor musik, sampai ada yang menjualnya seharga Rp. 6.000.000 rupiah untuk satu keping piringan hitam.

guruh_gipsy_piano.jpg 

Kembali lagi bicara soal musik berarti bicara soal selera, musik yang Guruh Gipsy sajikan mungkin terlalu “Maju” bagi masyarakat Indonesia pada saat itu yang belum benar-benar memahami musik mereka. Namun kita dapat merasakan energinya sekarang ketika referensi tentang jenis musik eksperimental seperti ini telah mudah diakses oleh khalayak baik melalui internet atau artikel-artikel tentang musik. Konsep dari musik Guruh Gipsy bagi saya adalah sebuah Energy tentang kekayaan budaya Indonesia yang disampaikan melalui musik. Guruh Gipsy mengajarkan dan membuka mata saya tentang musik Indonesia yang terkadang saya anggap “gak bermutu” berubah menjadi musik Indonesia yang memiliki Value tinggi. Indonesia sudah seharusnya bangga pernah memiliki band seperti Guruh Gipsy, dimana musik bukanlah hanya suatu ajang untuk memerkan kehandalan atau mencari sensasi dan profit semata melainkan menganggap musik sebagai media yang tepat dalam menyuarakan suara hati dan mencetuskan perubahan melalui hasil karya seni yang tidak diproduksi secara “Asal-asalan”. Guruh Gipsy bukan lagi musik Progressive Rock, melainkan musik Indonesia!

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos