Peran Nilai Tradisional dalam Era Modern: Perspektif Arsitektur

Foto oleh : Anshori Djausal
Pin It

Kain_Kapal.jpg

Dalam legenda Yunani dikisahkan, Prometheus adalah seorang titan (raksasa) yang mencuri api dari kahyangan untuk kepentingan manusia. Dewa Zeus, pemegang otoritas tertinggi alam semesta, berhasil menangkap Prometheus, dan memberikannya berbagai hukuman keras. Namun api kahyangan telanjur sampai manusia. Dengan api tersebut, manusia dapat mempunyai pengetahuan, dan mengembangkan teknologi dan peradaban. Namun karena merupakan api curian, teknologi ini banyak digunakan untuk berperang satu sama lain, atau mengambil hasil alam dengan serakah. Peradaban manusia yang terbangun akhirnya beriringan dengan kerusakan ditimbulkan akibat penguasaan pengetahuan dan teknologi.

Legenda Prometheus tersebut menjadi analogi bagi Saini K.M. (1994) untuk mengembangkan model manusia Promethean sebagai metafora manusia modern. Metafora ini bahkan dikembangkan dengan metafora tokoh Faust dalam mitologi Eropa yang rela menjual rohnya kepada Iblis demi penguasaan ilmu pengetahuan untuk memenuhi hasrat duniawinya. Dengan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, Faust menjadi manusia yang digdaya, namun kehilangan moralitas kemanusiannya. Metafora manusia Promethean-Faustian ini, menurut Saini K.M., adalah citra manusia modern, yang dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya sanggup membangun peradaban modern yang sangat maju. Namun berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh modernisme seperti kerusakan alam, menurunnya kemanusiaan, dekadensi moral, dan hilangnya keterkaitan antara manusia, alam, dan Tuhan, menjadi gambaran betapa manusia modern memang berperilaku Promethean-Faustian: pengetahuan yang dimiliki justru menimbulkan kerusakan.

Penguasaan ilmu pengetahuan yang kemudian dikembangkan dalam berbagai produk teknologi mesin dan industri memang menjadi ciri peradaban Modern. Jika dirunut dari sejarahnya, peradaban Modern diawali dari masa Rennaissance di Eropa, saat masyarakat mulai mengembangkan kemampuan rasionalitas yang terbelenggu pada Abad Pertengahan sebelumnya. Dengan kekuatan rasionalitasnya, manusia modern mampu mengembangkan pengetahuan modern yang melahirkan revolusi Industri, dan kemudian berkembang dan menjadi warna kuat peradaban manusia hingga saat ini. Kemampuan membangun industri ini akhirnya mendorong masyarakat modern untuk menciptakan kemajuan pesat dalam berbagai bidang. Masyarakat modern akhirnya berhasil membentuk karakternya sebagai masyarakat yang rasional dan progresif.

Arsitektur modern pun menjadi artifak pembawa pesan ciri karakter masyarakat modern ini. Dalam diskursus arsitektur saat ini, Arsitektur Modern pun menjadi sebuah wacana yang mampu melembaga. Rasionalitas dan progresivitas masyarakat modern pun menjadi warna kuat dalam pertimbangan pengambilan keputusan desain arsitektur, antara lain melalui kredo “Bentuk Mengikuti Fungsi” (Form Follow Function). Gaya Arsitektur Internasional (International Style) menjadi representasi bagaimana rasionalitas dan progresivitas Modernisme berhasil mencapai wujud fisiknya.

Meski banyak membawa keberhasilan, rasionalitas dan progresivitas Modernisme ternyata mempunyai sisi-sisi gelap. Rasionalisme membawa manusia untuk mengembangkan nalar sebagai kekuatan dalam dirinya, namun di sisi ekstrem bisa membawa manusia mengabaikan hal-hal lain yang dianggap di luar nalar, seperti hal-hal yang bersifat metafisik. Karakter progresif modernisme memang membawa manusia untuk selalu bergerak maju, namun pada ekstrem tertentu bisa menjadikannya abai terhadap masa lalu dan sejarah. Rasionalitas dan progresivitas Modernisme telah mendorong manusia menjadi kuat secara individu, namun efeknya ia cenderung bersifat mendominasi, bahkan berwatak eksploitatif terhadap manusia lainnya dan lingkungan alam.

Menjelang akhir Abad ke-20, Modernisme mendapatkan gugatan sebagai gagasan utama bagi manusia untuk membangun kehidupan yang lebih baik di dunia. Modernisme gagal menjawab permasalahan dampak dari dekadensi moralitas yang diakibatkannya, sehingga dikhawatirkan masyarakat akan menuju kepada nihilisme dalam kehidupan (Poole, 1993). Manusia modern dikhawatirkan berkembang menjadi mesin tanpa nyawa dan makna. Berkembangnya ideologi Pascamodernisme sejak tahun 1980-an menjadi penanda Modernisme dipertanyakan kehandalannya dalam memandu arah kehidupan manusia.  Menguatnya gerakan Pascamodernis ini menjadikan terbukanya reaktualisasi alternatif-alternatif gagasan lain yang pernah sempat diabaikan oleh modernisme.

Gagasan yang berbasis kesejarahan dan lokalitas akhirnya ditengok kembali relevansinya bagi masyarakat modern. Sejarah yang awalnya dianggap usang dan lokalitas yang dianggap udik akhirnya dicoba dihadirkan untuk mengisi kekosongan-kekosongan makna manusia modern. Sejarah akhirnya menjadi media untuk membaca kembali aspek-aspek lokalitas dari suatu masyarakat tertentu, yang melahirkan istilah kearifan lokal. Kearifan lokal ini banyak ditawarkan sebagai obat terhadap penyakit moralitas masyarakat modern yang berwatak eksploitatif, agar bisa lebih arif dalam mengembangkan kehidupan yang seimbang dengan manusia lainnya dan lingkungan alam.

Di sini penulis menawarkan gagasan mengenai “cerlang budaya”: permasalahan dalam masyarakat bisa diselesaikan dari kecerdasan-kecerdasan yang pernah diciptakan oleh masyarakat tersebut dalam proses sejarahnya. Istilah ini didapatkan penulis dari Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI I Gede Ardika, untuk menjelaskan berbagai kecerdasan lokal dari suatu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan tertentu guna menjaga keseimbangan mereka dengan sesama dan lingkungan alam. Ardika mencontohkan “Cerlang Budaya” pada sistem Subak pada masyarakat Bali, yang awalnya menggunakan praktik ritual masyarakat Hindu untuk dalam menjaga keseimbangan sosial dalam pengaturan lahan pertanian. Namun saat mulai hadir anggota masyarakat yang kebetulan non-Hindu, maka sistem Subak ini mengalami transformasi. Subak mulai dipisahkan antara aktivitas ritual dan sosial, sehingga masyarakat non-Hindu bisa mengikuti sistem Subak pada aspek sosialnya tanpa musti melaksanakan aspek ritualnya.

Persawahan_terasiring_Bali_._foto___Wd_Asmara.jpg   Persawahan terasiring Bali dengan sistem subak. (foto : Wd Asmara) 

Dalam arsitektur, istilah “Cerlang Budaya” mendapat padanan pada konsep “Genius Loci”. Istilah ini dipopulerkan oleh Christian Norberg-schultz (1991) merujuk pada konsep adanya jiwa yang melindungi (guardian spirit) suatu tempat tertentu dari masyarakat Romawi Kuno. Genius Loci ini terbentuk dari proses interaksi antara manusia dengan lingkungan fisiknya, saat manusia memanfaatkan, merawat, dan membangun makna di dalamnya. Setiap tempat mempunyai Genius Loci yang khas, yang memberikan jiwa bagi mereka yang menghuninya untuk tetap mengembangkan daya hidup sepanjang masa.

Dengan menggunakan konsep “cerlang budaya”, maka arsitektur tradisional tidak lagi dipahami dalam kerangka romantisme keagungan masa lalu, tetapi bagaimana artifak ini menyimpan pesan-pesan dari masa lalu untuk diaktualisasi pada masa sekarang. Arsitektur tradisional menjadi penanda dari berbagai nilai-nilai luhur yang pernah dibangun oleh para leluhur pada masanya, dalam rangka untuk tetap bertahan dan memberi makna dalam kehidupan mereka. Nilai-nilai ini bisa menjadi referensi bagi masyarakat sekarang untuk menjawab permasalahan serupa namun berada dalam konteks zaman yang berbeda. Dengan perspektif “cerlang budaya”, arsitektur tradisional bukan hanya dilihat pada kraton dan bangunan religi semata yang cenderung bersifat museum-sentris, namun juga pada arsitektur keseharian. Arsitektur yang hidup dalam keseharian, lazim disebut sebagai arsitektur vernakular, telah teruji oleh ruang dan waktu bagaimana manusia berhasil membangun keseimbangan bersama masyarakat dan lingkungan alam (Saliya, 2004).

Meskipun suatu masyarakat mempunyai budaya yang khas, namun “cerlang budaya” yang terkandung di dalamnya tetap bisa berkarakter inklusif. Artinya, kecerlangan suatu budaya masyarakat tertentu ternyata ditemukan pada budaya masyarakat lainnya dengan berbagai variasi. Di Indonesia, tiap suku mempunyai ungkapan yang merepresentasikan pandangan hidup mereka, seperti “Memayu Hayuning Buwana” dari masyarakat Jawa, konsep “Siger Tengah” bagi masyarakat Sunda, konsep “Tri Hita Karana” dari masyarakat Bali, atau “Piil Pesenggiri” dari masyarakat Lampung. Meski berbeda bahasa dan ungkapan, istilah-istilah tersebut mempunyai kesamaan semangat, bagaimana manusia harus bertingkah laku mulia dalam menjaga keseimbangan hidupnya, agar bisa hidup sejahtera dan bahagia dengan menjaga keselarasan hubungan dengan Tuhan, manusia lain, dan lingkungan alam.

Rumah_pesagi_11.jpg   Rumah pesagi 11 (foto: Agus S. Ekomadyo)

Permasalahan hidup manusia sejatinya disebabkan oleh manusia itu sendiri. Pengetahuan yang dibangun akhirnya bak pedang bermata dua: di satu sisi membawa kebaikan, di sisi lain akan membawa kehancuran. Ilmu pengetahuan bagi manusia modern yang diharapkan mampu membawa pada kemajuan dan kehidupan yang lebih baik, ternyata juga membawa kerusakan bagi manusia sendiri. Maka obat dari permasalahan yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan manusia adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Saat ilmu pengetahuan modern menghadapi kekosongan dalam mengendalikan watak eksploitatif dari manusia modern, adakah pengetahuan dari tradisi masa lalu bisa mengisinya? Ibarat sebuah antibodi –serum yang dihasilkan dari reaksi kimiawi makhluk hidup untuk mengatasi sebuah penyakit- maka obat bagi permasalahan manusia berasal dari dalam manusia sendiri, salah satunya dari nilai-nilai tradisi yang pernah dibangun untuk menyelesaikan masalah di masa lalu.

Arsitektur tradisional merupakan warisan budaya yang menyimpan pengetahuan manusia dalam menyelesaikan aneka permasalahan di zamannya. Di dalamnya tersimpan kebijakan-kebijakan manusia saat mereka bisa hidup selaras dengan alam, manusia lain, dan Tuhan.  Mampukah kita membukanya? Mampukah kita menerjemahkan dalam konteks masa kini? Eksplorasi arsitektur tradisional akhirnya bukan sekadar romantisme kejayaan masa lalu atau sarana konsumsi untuk aktivitas turisme semata, namun sebagai upaya pencarian kebijakan sebagai referensi untuk menjawab berbagai permasalahan di masa kini.

Gambar_rancangan_Menara_Siger_Lampung.jpg   Gambar rancangan Menara Siger Lampung 

Penulis : Agus S. Ekomadyo, Dosen pada Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung 

(Tulisan ini direncanakan untuk menjadi bagian dalam buku “Menegakkan Jati Diri Arsitektur Lampung”  yang ditulis bersama Anshori Djausal, dimuat di media komunitas IPLBI).

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos