Panggung Tari Membuat Jatuh Hati

Foto oleh : Aris Maryadi
Pin It

 halaman_1.jpg

Layar panggung Teater Jakarta sudah ditutup, gedung kesenian dengan standar internasional yang setara dengan gedung kesenian Esplanade Singapura tersebut kembali sunyi. Adalah Taman Ismail Marzuki, yang terletak di jalan Cikini Raya no 73 Jakarta Pusat, dan diresmikan oleh Bang Ali Sadikin (Gubernur DKI masa itu) pada tahun 1968 yang selalu menjadi ‘gedung ide segar’ bagi kreator bidang seni pertunjukan. Kegilaan kreatifitas dan eksperimen bidang seni pertunjukan telah diwujudkan di gedung kesenian ini yang mampu menampung hingga 1240 orang.

Dari sebuah kisah yang berasal dari desa di pebukitan yang miring, lahirlah konsep panggung inovatif yang membuat jatuh hati.

multimedia_panggung.jpg 

Senang, bangga dan terhibur rasanya bisa menyaksikan pertunjukan tari seelok Matah Ati. Sendra tari delapan babak ini menceritakan perjuangan Rubiyah, seorang gadis biasa anak seorang Kyai yang tinggal di desa Matah, memimpin prajurit  perempuan terjun ke medan perang membantu laskar Raden Mas Said melawan tentara Belanda. Pertunjukan dibuka dengan tari perang prajurit perempuan yang bersenjatakan gendewa panah dan pistol. Ya, meskipun berkostum tradisional Mataram, mereka sudah fasih memegang pistol. Para penari yang cantik itu bergerak luwes dan lincah di atas panggung miring.

Khusus untuk Matah Ati, Teater Jakarta di kompleks Taman Ismail Marzuki dipasangi panggung miring yang memberikan perspektif 3D bagi penonton. Kemiringan panggung ini dieksplorasi dengan baik oleh para penarinya, termasuk memanfaatkan lantai panggung yang bisa dibuka untuk mengeluarkan asap dan menampilkan penari. Layaknya pementasan besar, panggung tidak hanya diisi gerak tari yang indah dan dialog yang disampaikan lewat tembang, tapi juga tata cahaya dan permainan multimedia yang disorotkan ke layar sebagai back ground panggung. “Sayangnya, kita hanya mendapat kesempatan melihat pertunjukan pada sesi gladi resiknya saja, jadi penampilan multimedia ini kurang optimal dalam membangkitkan mood pertunjukan”.

duel.jpg

Alkisah, rombongan Raden Mas Said dan para panglima tengah melintasi desa Matah. Hati Raden Mas Said bergetar ketika melihat seorang gadis desa bernama Rubiyah. Kemudian ketika Raden Mas Said bertapa untuk meningkatkan kesaktiannya, dia berjumpa dengan seorang gadis di dimensi yang lain. Cerita pun bergerak ke perlawanan Raden Mas Said terhadap pendudukan Belanda. Untuk mengobarkan semangat pasukannya, Raden Mas Said berseru, "Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh!"(mati satu mati semua, sejahtera satu sejahtera semua). Matah Ati yang nama aslinya Rubiyah, akhirnya membantu pertempuran Raden Mas Said dengan menurunkan laskar tentara perempuan yang menyamar jadi petani. Maka serdadu Belanda pun berhasil dienyahkan dan pesta pernikahan kedua sejoli itupun digelar. Sesudah menikah, tentu ada adegan malam pertama yang juga ditarikan di atas panggung. Penasaran bagaimana tariannya? Jawabnya, pasti!. Untuk kebanyakan kaum muda, bentuk adegan yang dinamis dan romantis menjadi hal menarik yang ditunggu dalam sajian seni pertunjukan. Lewat adegan peperangan dan adegan percintaan, membuat tata artistik panggung Matah Ati yang inovatif menjadi  terasa lebih ‘hidup’. Hal tersebut memudahkan penonton untuk menikmati babak demi babak,  walaupun bahasa yang digunakan belum tentu  dimengerti.

BulanMadu.jpg

Nah, satu babak yang unik dan sangat menarik adalah ketika empat orang 'mbok emban' tampil. Kalau di babak-babak yang lain tariannya serius dan nyanyiannya merdu menggunakan bahasa Jawa halus, maka mbok emban ini menari dengan gaya banyolan dan dialognya pun berupa celetukan dengan bahasa Jawa ngoko yang mengocok perut. Mereka dengan cerdas dan tangkas melemparkan gurauan yang menyindir berbagai kondisi aktual bangsa Indonesia.. Sungguh sangat menghibur.

Mencairkan_cerita.jpg

Sebagai pementasan, para pekerja seni dibalik indahnya Matah Ati bukanlah pemain baru. Disutradarai oleh Atilah Soeryadjaja, tata artistik oleh Jay Subyakto, penata acara oleh Inet Leimena, pengarah musik Blacius Subono, dan koreografi Daryono-Nuryanto-Eko Supendi sendra tari Matah Ati menampilkan 28 orang penari perempuan, 24 penari laki-laki dan 24 pemain musik. Kabar baiknya, mereka tengah mempersiapkan versi Matah Ati yang lebih kolosal dengan jumlah penari yang lebih besar! Bayangkan! Pentas kolosal tersebut akan digelar di Solo bulan September mendatang. Obsesi sang sutradara yang memiliki darah Mangkunegaran tersebut adalah menjadikan Solo sebagai pusat kesenian dan budaya di Jawa, khususnya melalui tarian Jawa yang menjadi daya tarik utamanya. Akankah Matah Ati bisa diboyong di panggung terbuka di halaman Puro Mangkunegaran? Dan adakah kisah Rubiyah lain yang akan menginspirasi seni pertunjukan modern di negeri ini?  Semoga selalu ada kabar baik di kemudian hari. Salam Kratonpedia.

penari.jpg 

(teks : Wd Asmara/Swastika S Nohara foto : Aris Maryadi/Kratonpedia) 

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos