Pusaka Tombak Poleng Kesiman

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

Prosesi pengembalian Pusaka Tombak (bokat) “Poleng Kesiman”,dari Puri Agung Kesiman pada Keluarga “Sentaka”.

bokat_poleng_1.jpg

upacara_bokat_1.jpg

kirab_bokat1_1.jpg

kirab_bokat3_1.jpg

kirab_bokat4_1.jpg

upacara_bokat_2_1.jpg

Kisah Perjalanan panjang sebilah bokat pusaka

Kemahsyuran Kesiman tidak dapat dipisahkan dari nama Poleng Kesiman. Poleng Kesiman merupakan Pasukan elite kerajaan Badung yang berpusat di Kesiman, Pasukan ini pada pertengahan tahun 1800an dibentuk untuk melindungi rakyat di perbatasan (Tepi Siring) timur Kesiman yang berbatasan langsung dengan kerajaan Gianyar tepatnya daerah Biaung, Tangguntiti, Kerta Jiwa, Kesambi dan Tohpati. Pada masa itu, pasukan yang dibekali dengan senjata keris, dan tombak ini berfungsi pula sebagai Garnisun yang berpatroli sepanjang perbatasan kerajaan untuk menghindari serangan dari sisi timur kerajaan.

Dalam tugasnya, Pasukan tersebut dikomandoi secara turun temurun oleh keluarga Mekel Sentaka. Dengan tokoh yang terakhir menjabat sebagai mekel adalah Gede Genteh (yang lebih dikenal dengan sebutan Jro Wayan Genteh). Sebagai Komandan, Gede Genteh memegang sebuah Bokat (tombak bertangkai pendek ; Satu depa ditambah satu jengkal) yang diwarisi dari leluhur.

Pada saat kerajaan Badung berkonflik dan kemudian menggempur kerajaan Mengwi di sebelah Utara, Pasukan Poleng Kesiman juga ditugaskan menyusup dan menyerbu Mengwi bergabung dengan pasukan penembak Bugis. Setelah kejatuhan kerajaan Mengwi pada tahun 1880an, beberapa jeroan bawahan Mengwi di sekitar Angabaya dan Jagapati berkomplot tidak mau tunduk pada dominasi Badung. Dengan sisa-sisa laskar Mengwi mereka bahkan menantang untuk bertempur. Atas Perintah Raja Kesiman, Gede Genteh pun memimpin kembali pasukannya menyerang daerah yang membangkang tersebut, bahkan dengan bokatnya beliau diceritakan melukai seorang pemimpin pasukan yang belum tunduk kepada Badung dalam sebuah perang tanding. Setelah terluka parah, pemimpin pasukan tersebut kemudian dilarikan oleh pengikutnya ke semak lembah yang tidak terjangkau. Kemenangan atas Angabaya kemudian menjadi salah satu tonggak kemenangan mutlak Badung atas Mengwi.

foto_1.jpg

Kemenangan tersebut kemudian memperlebar wilayah kekuasaan Badung hingga Plaga di utara dan Bukit jimbaran di selatan, dalam rangka memperluas wilayah kerajaan ke selatan, Gede Genteh dititahkan untuk menempatkan orang-orang kepercayaannya di daerah Bualu, Nusa Dua untuk menjaga pesisir selatan kerajaan.

Awal abad 20, Pemerintahan hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia merancang program ekspansinya untuk menguasai pulau-pulau nusa tenggara termasuk Bali. Dalam sebuah peristiwa kandasnya kapal dagang cina tanpa muatan Sri Komala di Sanur, Pemilik kapal seorang pengusaha cina bernama Kwee Tek Tjiang melaporkan ke Batavia bahwa isi kapalnya dirampas di Sanur. Belanda menuduh rakyat Sanur merampas harta benda isi kapal tersebut dan menuntut raja Badung untuk mengganti rugi seluruh isi kapal yang hilang dirampas. Belanda juga menuduh raja Badung telah mengingkari kesepakatan untuk menghapuskan hak tawan karang. Raja badung yang yakin rakyatnya tidak mungkin berbuat senista itu kemudian menolak membayarkan ganti rugi. Demi membela prisip kebenaran, Raja Badung rela berkonflik dengan Belanda hingga mengakibatkan Belanda mengirim pasukan ekspedisi dari Batavia dan Surabaya untuk menggempur Badung pada 20 september 1906.

Namun, 2 hari sebelum perang akan dilaksanakan, Raja Kesiman tiba-tiba mantuk / tewas tertikam keris oleh seorang abdinya. Dalam situasi yang genting tersebut Gede Genteh yang memimpin pasukan Kesiman mengambil alih komando sementara dan mengeluarkan himbauan untuk mengikuti titah raja Denpasar berperang. Bagi siapa yang masih ksatria dan teguh membela Negara silahkan ikut dengan dirinya bertempur melawan Belanda ke Denpasar, dan bagi yang tidak berani dipersilahkan ikut mengawal rombongan permaisuri dan wanita-wanita mengungsi. Dengan beberapa pemberani yang setia kepada kerajaan, Gede Genteh kemudian bergerak menuju Denpasar. Sesampainya di Taen Siat, beliau kemudian bersembunyi untuk menyergap pasukan Belanda. Dengan prinsip walaupun akhirnya harus mati, namun harus dapat membunuh sedikitnya satu orang tentara Belanda.

Saat barisan pasukan Belanda beriringan menuju Puri Denpasar terputus, Gede Genteh bersama pasukan keluar dari persembunyiannya dan menombak barisan Belanda yang dikiranya paling belakang, dan berhasil melukai seorang perwira Belanda. Ternyata di belakang masih ada lagi pasukan penembak Belanda yang kemudian menghujani mereka dengan rentetan tembakan. Gede Genteh pun tersungkur diterjang peluru Belanda.

Sore hari 20 September 1906, saat belanda telah menundukan Puri Denpasar dan Puri Pemecutan, maka habislah riwayat kerajaan Badung, saat itu juga tersiar berita bagi keluarga orang-orang yang ikut berperang untuk mengambil jenasah keluarganya yang gugur. Keluarga Gede Genteh dari Kesiman mengira beliau sudah pasti tewas dalam pertempuran. Namun pada saat dicari-cari jenasahnya, Gede Genteh ditemukan masih hidup dengan beberapa peluru bersarang di badannya dan 2 peluru bersarang di jidatnya. Badannya yang telah berlumuran darah kemudian dibawa ke Kesiman untuk diobati.

Seusai perang Gede Genteh pulih kembali hingga bertahan hidup dengan peluru di badan dan di kepala hingga tahun 1956, tepat 50 tahun setelah perang. Sebelum meninggal, Ia sempat berpesan pada seorang pewarisnya yakni Made Kelandis agar bila beliau meninggal nanti, saat mayatnya di aben, bokat yang dipegangnya dalam berbagai pertempuran juga ikut dibakar sebagai bekal. Pesan itu ditepati oleh Made Kelandis yang mengganggap bahwa bokat tersebut sudah tidak boleh diwarisi lagi pada keturunannya.

Namun, sejarah berkata lain, Dewa Made Oka, seorang sastrawan Puri Kesiman Asal Dauh Tangluk kesiman memungut bilah tombak tersebut di sela-sela abu pembakaran jenasah Gede Genteh. Dewa Made Oka yang akrab dipanggil Dewa Kade kemudian membersihkan besi tombak itu, membuatkan tangkai serta merawatnya selayaknya pusaka. Pada tahun 80an Dewa Kade sempat bercerita kepada anak I Made Kelandis yakni Nyoman Windya Kelandis, Ketut Rai Segara dan Nyoman Suamba bahwa bokat pegangan kakek mereka disimpan oleh Dewa Kade. Karena menganggap bokat itu sudah dijadikan bekal oleh kakeknya, mereka berdua pun tidak mau meminta kembali bokat kakeknya.

Sampai pada tahun 1990an, seorang tokoh olah raga Kesiman dari Banjar Batanbuah bernama I Bagus Raka mendirikan sebuah klub sepak bola bernama Poleng Kesiman. Entah karena persoalan internal atau keberatan nama, klub tersebut selalu menemui masalah dan kekisruhan dalam pelaksanaanya. Bagus Raka percaya kalau klubnya tidak akan lancar tanpa restu pusaka Poleng Kesiman yang sesungguhnya. Mendengar bahwa pusaka Poleng Kesiman disimpan oleh Dewa Kade, Bagus Raka belakangan memohon untuk meminta bokat tersebut untuk disimpan di sekretariat klubnya, dengan ritual dan sesajen. Dewa Kade pun mengijinkan Bagus Raka untuk membawanya, karena Dewa merasa benda tersebut akan lebih bermanfaat untuk kepentingan public, serta Dewa Kade merasakan tidak baik terlalu lama memegang pusaka orang lain.

Pada awal tahun 2000an, Dewa Kade melaporkan keberadaan bokat Poleng Kesiman yang dibawa Bagus Raka kepada penglingsir Puri Kesiman A A Ngurah Gede Kusuma Wardana. Penglingsir yang mengetahui bahwa Bagus Raka kurang pantas memegangnya kemudian menitahkan agar Bagus Raka menyerahkan bokat Poleng Kesiman ke Puri Kesiman. Turah beberapa tahun kemudian, tepatnya sekitar 2008 menyampaikan kepada pewaris bokat yakni keluarga Sentaka bahwa bokat tersebut telah kembali ke Puri, sementara disimpan dahulu di Puri dan suatu saatnya nanti akan tiba waktunya untuk kembali pada pemegangnya di Sentaka.

Mungkin perjalanannya mengembara sudah usai, setelah 55 tahun berkeliling serta berganti pemegang, A A Ngurah Gede Kusuma Wardana menyampaikan bahwa sudah saatnya bokat tersebut kembali pada yang berhak. Melalui beberapa parum diputuskanlah prosesi pengembalian bokat akan dilaksanakan tanggal 21 Juni 2011, dikaitkan dengan prosesi pengadegan kepemangkuan pamerajan Puri Kesiman. Sebelum dikembalikan ke Sentaka, akan diadakan prosesi Pasupati oleh Ida Pedanda dan pemangku untuk menguatkan kembali kesuciannya, serta untuk menyucikannya dari segala kotoran akibat terkena darah selama mengikuti peperangan. Setelah upacara penyucian, Turah Kusuma Wardana akan ngewaliang / mengembalikannya ke Sentaka diiringi oleh Brahmana Puri, Wargi Puri, Prajuru Banjar Pekandelan Puri Kesiman dan Keluarga Besar Sentaka serta Braya Wargi dari Biaung, Tangguntiti dan Bualu. (foto prosesi : Wd Asmara/KratonPedia foto Gede Genteh : Puri Agung Kesiman teks : Puri Agung Kesiman)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos