Melawan Sukarno: Skena Musik Alternatif Indonesia Tetap Maju

Nabila Ernada
Artikel oleh : Nabila Ernada
Foto oleh : Nabila Ernada
Pin It

Kehadiran budaya pop atau pop culture di Amerika Serikat dan penjuru dunia lainnya mempengaruhi output musik di tanah air Indonesia, crossover musik progresif telah lahir. Dan Indonesia mengalami momen-momen emas di dunia musik, dimana bakat lokal Indonesia terekspos secara internasional—hingga dapat menjalankan konser-konser dan bahkan tur sampai ke tanah Eropa.


Namun dengan semua talenta yang beredar, tetap saja terbatas. 


Terbatas, mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan industri musik Indonesia zaman dahulu, khususnya pada era orde baru. Politik memainkan peran yang cukup penting dalam perkembangan musik tanah air—di bawah naungan Sukarno, larangan akan budaya yang berbau Barat hadir di Indonesia. Beatlemania merupakan suatu tindak kejahatan, perkembangan musik pun makin dipersulit dengan dibatasinya piringan hitam band rock asal Inggris masuk ke Indonesia sampai ke larangan mengikuti tren celana ketat ala John Lennon. Sukarno menganggap musik dari The Beatles bagaikan bunyi Ngak Ngik Ngok — begitu juga musik lain yang dianggap serupa.


Bermula dari gelombang Anti-Barat Sukarno, kreativitas para pemuda Indonesia mati secara perlahan. Koes Bersaudara (Koes Plus), menjadi sorotan media dalam maupun mancanegara saat  Band asal Tuban, Jawa Timur tersebut dipenjara karena memainkan lagu band asal Liverpool, The Beatles yang berjudul “I Saw Her Standing There” dengan alasan bahwa musiknya dianggap mewakili aliran politik kapitalis. Kasus yang jarang ditemukan, ditangkap dan dipenjarakan karena bermain musik.


Tanggal 29 Juni 1965 malam, Koes Bersaudara menjalani masa penahanan di penjara Glodok, dan dalam waktu 3 bulan, mereka naik strata dari sekadar napi hingga menjadi legenda. Menjadi salah satu pelopor dalam musik yang bertujuan untuk menyindir pemerintahan.


Tutupkanlah semua pintu, matikanlah semua lampu kamar kurungku. 

Hatiku tetap tenang, karena ada sinar terang dari Tuhanku-“


Cuplikan dari lagu “Di Dalam Bui” yang ditulis saat Koes Bersaudara sedang mengalami tiga bulan penahanan di penjara Glodok secara tak disangka, kejadian ini mencatatkan mereka sebagai salah satu aspek sejarah musik yang penting di Indonesia—paska kejadian ini, para pecinta musik memiliki komen sendiri untuk Bung Karno, dan kebanyakan opini pribadi mereka negatif—mereka merasa tidak bebas dan kreativitas mereka seperti didikte oleh pemerintah. 


Transisi halus dalam dunia musik akhirnya terjadi ketika Suharto menjadi pemimpin Indonesia. Meskipun Suharto memiliki visi yang beda tipis dengan Sukarno, para musisi Indonesia mulai memperluas talenta mereka, dan berkat dirilisnya lagu yang bisa dibilang lancang oleh Koes Brothers, legenda-legenda musik alternatif di Indonesia pun lahir.


Contoh yang menurut saya paling menonjol adalah saat kompilasi Psychedelic Rock dan Funk Indonesia dirilis oleh Now-Again Records pada tahun 2011, dimana sampai sekarang dijual dengan harga yang tinggi, dan lucunya lebih digemari oleh warga non-Indonesia. Album Kompilasi ini diberi nama “Those Shocking Shaking Days” yang diambil dari salah satu judul lagu dalam album tersebut. Ya memang, tidak heran, jika banyak yang tidak mengetahui keberadaan musik-musik seperti ini dibawah naungan Suharto. Dikarenakan Suharto ingin melanjutkan hasil jerih payah pemimpin sebelumnya—segala musik yang dapat dianggap sebagai perusak moral disensor olehnya. Band-band memilih untuk stay underground agar mereka bisa tetap bermain musik, namun sebagai konsekuensinya, banyak musik/musisi hebat dari era tersebut yang terlupakan. 

Yang menarik adalah, meskipun dibawah penyensoran sang diktator Suharto, para musisi bahkan memiliki energi yang jauh lebih berkobar, dengan lirik hiperbola bermuatan politis, ritme kuat dan low fidelity yang memberontak.


Proses akulturasi dari rilisnya album kompilasi dari 2011 ini dapat didengar dari influens musik yang didapatkan dari musisi-musisi mancanegara, namun dengan alunan makna lirik yang disampaikan dan ditujukan untuk menyindir pemimpin Indonesia sebelumnya (Sukarno). Kompilasi ini benar-benar memberikan warna baru terhadap dampak musik Barat dan bagaimana outputnya mempengaruhi suatu budaya. Berberapa lagu-lagu favorit saya di kompilasi ini memiliki pengaruh budaya Barat yang sangat kental—Bad News oleh The Rollies memberi groove yang seperti disunting dari pertunjukan James Brown, dengan sedikit progressive rock breakdown yang bisa didengar dari album Chicago. Salah satu musisi Indonesia yang sampai sekarang dikenal dengan baik, Benny Soebardja, memiliki band Psychedelic Rock bernama Shark Move—dimana mereka memproduksi dan mencetak album mereka sendiri, dan hanya menjual 1000 kopi vinyl. Lagu mereka Evil War menunjukan influens akan groovy organ dari Vanilla Fudge dan Traffic.



Namun, apakah Koes Bersaudara dan revolusi album Those Shocking Shaking Days memberontak Sukarno sebagai seorang individu atau sebagai suatu ideologi? Musisi-musisi yang telah dibahas memiliki kesamaan yang sama, mereka semua menentang ideologi Anti-Barat milik Sukarno, dan dari hasrat awal yang sama berkembanglah suatu orientasi musik yang baru, dimana musisi-musisi generasi kedepannya akan turut mengikuti dan melontarkan energi dan semangat yang sama. 


Karena sesungguhnya, tanpa sikap Anti-Barat Sukarno, ide brilian yang dikeluarkan Koes Brothers, The Rollies, Shark Move dan kawan-kawan tidak akan pernah ada. Mereka akan terperangkap dalam zona nyaman bermusik dan tidak menjadi inspirasi untuk musisi-musisi underground atau indie masa kini. Karena dalam tekanan dan keterbatasanlah seorang atau sekelompok musisi dapat menghasilkan karya yang diterima oleh dunia. Berbeda dengan kondisi musik saat ini dimana kebebasan sudah dapat dirasakan, dan fokus utama bukan lagi musik dan lirik — namun, ketenaran.



Skena musik alternatif di Indonesia telah berkembang dan terus berlanjut menjadi berbagai output, muncullah stoner rock dan genre musik lainnya yang mulai mendominasi musik underground di Indonesia — meskipun musik yang dikenal di Indonesia atau Indonesian Pop lebih menjual di media-media ternama, musisi yang terinfluens berat oleh legenda-legenda musik tahun 60an-70an di Indonesia memilih untuk main dalam skena underground. Band-band indie atau independen hadir menunjukan talenta musik, memberikan industri musik Indonesia suara yang lebih dinamis.


The Indonesian music scene has divided itself into different genres, segmented differently to different people. I believe that the progressive era of music was the most powerful in Indonesia, it’s one the eras with the most impactful message and also it reach goes further in the international music industry. What I find interesting is, what would happen if Sukarno was not anti-western? Will the music be that good? Will that guitar riffs be that powerful? Would the lyrics fire in from their soul? I might say, even though Sukarno was the person the mucisions were fighting — deep down, the person we should thank to provoke the strong emotions AKA, Shark Move or Koes Brothers have presented for all of us to enjoy, is maybe, Bung Karno—the anti westernist himself.

 ---  

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos