Jika anda mengunjungi daerah Sulawesi bagian utara, jangan heran jika anda menjumpai beberapa daerah yang namanya terdengar sangat Jawa, seperti Yosonegoro, Kaliyoso, atau Wonosari. Daerah-daerah ini adalah pemukiman masyarakat Jawa yang sudah menetap cukup lama di wilayah Sulawesi bagian utara. Mereka adalah keturunan Kyai Modjo yang merupakan penasehat agama sekaligus panglima perang dari Pangeran Diponegoro tahun 1828. Pada masa itu pihak Belanda menangkap Kyai Modjo bersama 63 orang pengikutnya, kemudian diasingkan sebagai tahanan politik ke Minahasa, Sulawesi Utara. Semua pengikut Kyai Modjo (semuanya adalah pria Jawa) menikahi perempuan Minahasa hingga akhirnya memiliki keturunan.
Dari sinilah asal mula terbentuknya sebuah etnis baru di Sulawesi, yaitu Jawa Tondano. Derah mereka bermukim pun akhirnya dijadikan sebuah kelurahan yang bernama Kampung Jawa Tondano. Jumlah masyarakat Jawa Tondano semakin bertambah karena adanya program transmigrasi pemerintah pada tahun 1950, membuat mereka mendirikan beberapa kampung Jawa di luar kabupaten Minahasa. Saat ini kampung telah tersebar di provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo.
Percampuran suku Jawa dan suku Minahasa ini juga mempengaruhi budaya masyarakat Jawa Tondano. Salah satunya adalah tradisi Bakdo Ketupat, yaitu sebuah perayaan khusus yang jatuh pada hari ke tujuh pasca lebaran, atau yang lebih dikenal dengan Hari Raya Ketupat. Masyarakat Jawa Tondano biasanya melaksanakan ibadah puasa Syawal selama seminggu, yang dimulai pada tanggal 2 Syawal, sehari setelah lebaran. Pada hari terakhir mereka akan disibukkan dengan membuat berbagai santapan yang dikerjakan secara berkelompok dengan anggota keluarga di pekarangan belakang rumah.
sumber foto: http://gorontaloholiday.wordpress.com
Salah satu makanan khas yang selalu disajikan adalah Jenang. Kaum perempuan akan mencampur tepung beras ketan dengan santan dan gula, kemudian dimasak di atas wajan besar sambil diaduk secara terus-menerus selama berjam-jam dari pagi hingga sore, hingga akhirnya adonan jenang panas semakin mengental. Selain Jenang, makanan khas pada perayaan Bakdo Ketupat ini tentu tidak lepas dari ketupat. Kedua jenis makanan ini adalah dibawa oleh para leluhur mereka dari tanah Jawa, namun dalam perkembangannya beberapa makanan lokal diadopsi untuk disajikan seperti nasi jaha (nasi bambu).
sumber foto: http://gorontaloholiday.wordpress.com
Yang membuat perayaan Hari Raya Ketupat menjadi lebih meriah adalah terbukanya pintu rumah masyarakat Jawa Tondano bagi siapa saja yang ingin berkunjung, baik keluarga, kerabat, teman, bahkan orang yang tidak dikenal sama sekali. “Silakan datang, kami akan menyambut dengan gembira” kata Ali Sataruno, generasi ketiga pendiri desa Reksonegoro, salah satu Kampung Jawa yang terdapat di kecamatan Tibawa, Gorontalo. “Bahkan kalau ada makanan yang lebih kami mempersilahkan membawanya sebagai oleh-oleh”, tambahnya lagi. Konon, perayaan Hari Raya Ketupat lebih meriah dari pada hari raya Idul Fitri itu sendiri.
sumber foto: http://gorontaloholiday.wordpress.com
Tradisi Bakdo Ketupat sebenarnya bermula dari kebiasaan pengikut Kyai Modjo yang menggelar acara silaturahmi untuk membina kerukunan dengan keluarga besar para istri mereka yang semuanya berasal dari suku Minahasa. Kebiasaan ini terus dilakukan secara turun temurun hingga akhirnya kegiatan silaturahmi ini tidak hanya mewakili kerukunan dua keluarga saja, namun mewakili kerukunan dua suku. Bakdo Ketupat merupakan bentuk komunikasi sosial yang baik dari masyarakat Jawa Tondano. Hasilnya bukan saja kemeriahan dan kegembiraan, namun juga ikatan sosial yang lebih kuat antara dua suku yang berbeda.
Sumber artikel:
- id.wikipedia.org
- gorontaloholiday.wordpress.com
- degorontalo.co
- aceh.tribunnews.com