7 Jejak Keajaiban Kraton Solo

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It
halaman_1.jpg

Beberapa kali mengunjungi Kraton Kasunanan Surakarta yang juga sering disebut dengan Kraton Solo, makin banyak saja kisah unik yang memberikan kesan indah, terkadang juga memancarkan kesan megah, atau juga ada kisah yang kurang menggugah. Memang tidak mudah memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan lingkungan Kraton Kasunanan Surakarta, terlebih kalau kita berdiri jauh di luar temboknya yang tinggi. Seakan kembali teringat 20 tahun silam saat saya menghadiri undangan Tingalan Jumenengan SISKS Paku Buwono XII, suasana hening, damai, sakral dan banyak makna keagungan yang tergambar dalam upacara pemperingati penobatan Raja Solo tersebut.  Awal kekaguman bukanlah semata berasal dari sebuah tradisi yang masih ada, ataupun bangunan kuno yang sudah terlihat usang namun tetap kokoh berdiri tersebut, tapi lebih pada semangat yang tercatat dalam jejak sejarah berdirinya dan “kerja keras” para abdi dalem yang juga disebut soroh bahu. Soroh mempunyai arti pemberi dan bahu artinya tenaga, jadi merupakan tenaga sukarelawan yang mempersembahkan tenaganya untuk tanda bakti kepada sang Raja. Hal tersebut terjadi pada awal mula pembangunan Kraton Kasunanan Surakarta di desa Sala pada tahun 1744.

Dan dijaman serba “instan” sekarang ini, aktifitas para “soroh bahu” yang selalu terlihat keluar masuk melalui Kori Kamandungan yang merupakan pintu masuk utama ke dalam Kraton saat ini masih bisa dilihat setiap hari. Dalam satu hari saja bisa terlihat aktifitas keluar masuk dari pintu yang berwarna biru muda dengan tinggi hampir empat meter tersebut sebanyak 30an kali, apalagi kalau sedang ada upacara adat dari Kraton Kasunanan Surakarta, pintu biru tersebut akan lebih sering buka tutup. Setidaknya aktifitas tersebut berkaitan dengan “kepentingan” para abdi dalem di dalam tembok Kraton, yang tetap setia memberikan tanda bakti kepada Raja-nya, karena tatanan dan tuntunan itu telah diwariskan oleh leluhur mereka sejak mereka belum ada. Sebagian dari mereka ada yang mengurusi kebersihan halaman Kraton, ada yang tugas jaga, bagian merawat pusaka, atau sekedar bercengkerama dengan sesama abdi dalem di dalam Kraton karena rasa “memiliki” yang tinggi atas warisan budayanya yang luhur.

Abdi_dalem_Kraton_Kasunanan_Surakarta.jpg   Abdi dalem Kraton Kasunanan Surakarta di masa sekarang

Luar biasa!, hanya ungkapan itu yang bisa diucapkan dalam hati kebanyakan masyarakat umum di luar tembok Kraton.  Bagaimanapun sebutan sukarelawan atau soroh bahu tersebut masih sah menempel pada diri setiap abdi dalem hingga kini. Bagaimana tidak, dari pengakuan beberapa para abdi dalem ini mengatakan meskipun mendapatkan honor yang nominalnyapun juga jauh dari layak, terkadang juga telat atau bahkan mungkin belum bisa mereka terima dalam waktu yang cukup lama, hal tersebut memang sudah menjadi konsekuensi bilamana seseorang menjadi soroh bahu.  Karena bukanlah semata materi yang menyilaukan yang mereka cari, melainkan Kraton dengan keunikan dan ciri khasnya adalah simbol sebuah perjalanan jiwa menuju kesempurnaan hidup. Keyakinan bahwa Kraton sebagai  pengingat, akan sebuah asal usul atau pepunden, menjadikan bentuk tanda bakti itu penting bagi mereka untuk terus menjaga dan mewariskan kepada generasi mereka berikutnya.

Patuh_menjalankan_perintah_dan_tradisi.jpg   Patuh menjalankan perintah dan tradisi 

Keunikan apa yang menjadikan Kraton Kasunanan Surakarta ini begitu sakral  dan mempunyai nilai sejarah penting yang harus mereka jaga. Berikut catatan sejarah yang menjadi jejak awal mula berdirinya Solo sebagai kota yang berasal dari rawa-rawa dan hutan Sala terus tumbuh berkembang hingga sekarang. Semua cerita bermula dari para soroh bahu yang membangun tembok Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan terus menjaganya hingga kini.

Abdi_dalem_sowan.jpg   Abdi dalem sowan 

Jejak satu – Cerita tentang Solo dimulai dari era Paku Buwono II pada masa pemerintahannya tahun 1726-1749. Raja yang dinobatkan dalam usianya yang masih belia, yakni di usia 16 tahun tersebut mengalami masa pahit saat terjadi “geger pecinan” pada tahun 1742 di Kartosuro. Pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa di Batavia yang disebut sebagai Tragedi Angke yang dilakukan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menelan korban puluhan ribu jiwa etnis Tionghoa pada tahun 1740, dan dua tahun berikutnya tragedi tersebut berimbas ke Kraton Kartosuro. Kraton Kartosuro diserang para pemberontak Cina hingga merusakkan hampir sebagian besar bangunannya  rata dengan tanah.

Jejak dua – Melihat kehancuran bangunan Kraton Kartosuro tersebut, akhirnya Paku Buwono II memutuskan mencari tanah baru untuk memindahkan Kraton yang tidak hanya rusak secara fisik, tapi juga telah memberikan luka batin untuk Raja dan para pengikutnya. Akhirnya Raja mengutus beberapa Adipati (pejabat kepala daerah atau bupati) dan tiga orang abdi dalem ahli nujum (orang yang pandai meramalkan sesuatu) untuk mencari tanah yang dinilai baik secara lahiriah maupun batiniah.  Ketiga abdi dalem ahli nujum tersebut adalah,  Kyai Tumenggung Hanggawangsa, Raden Tumenggung Mangkuyuda dan Raden Tumenggung Puspanegara. Dan dipilihlah tiga daerah alas atau hutan rawa di desa Sala, Kadipolo, dan Sana Sewu. Dengan berbagai pertimbangan baik fisik dan non fisik, akhirnya desa Sala dipilih sebagai lokasi yang akan dibangun istana baru tersebut. Semua daerah hutan tersebut lokasinya dekat dengan sungai atau Bengawan Semanggi yang kini terkenal dengan nama Bengawan Solo, dan lokasinya berada di sebelah timur wilayah Kraton Kartosuro. Daerah Kadipolo terletak diantara Sriwedari dan Stasiun Balapan serta desa Sana Sewu mungkin sekarang dikenal sebagai daerah Kampung Sewu di Semanggi Solo.

Jejak tiga – Kirab perpindahan Kraton Kartosuro menuju istana baru yang diberi nama Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dilaksanakan pada hari Rabu Pahing 17 Suro atau tanggal 17 Februari tahun 1745. Kirab perpindahan Kraton tersebut konon diikuti sekitar 50.000 orang dengan menempuh rute sepanjang kurang lebih 12 Km dengan berjalan kaki dalam waktu 7 jam. Rute perjalanan melewati jalan setapak yang sudah dilebarkan itu kini dikenal dengan nama jalan Dr. Rajiman, jalan tersebut membelah daerah kampung batik Laweyan Solo hingga pasar Klewer, dan sekarang rute tersebut bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor dalam waktu 30 menit .

Jejak empat – Era perjuangan Kraton Kasunanan Surakarta melawan penjajahan. Yang menarik adalah pada masa Raja Pakubuwono IV (1788-1820), karena kebenciannya dengan penjajah, pada tahun 1790 terjadi peristiwa pengepungan istana yang dikenal dengan nama peristiwa pakepung. Pada waktu itu Pakuwono IV dengan kepercayaan kejawen-nya menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengan keyakinannya. Dan karena sakit hati atas perlakuan sang Raja, maka para pejabat istana tersebut meminta pihak VOC atau pihak penjajah untuk menghadapi Paku Buwono IV, dan terjadilah peristiwa pengepungan tersebut. Akhirnya pada tanggal 26 November 1790 Paku Buwono kalah dan diasingkan oleh pihak VOC. Sebelum wafat pada tahun 1820, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang sempat mendidik Ranggawarsito dengan ilmu sastra dan kesaktiannya.

Jejak lima – Pada masa Paku Buwono IX (1861-1893), oleh Pujangga Jawa terkenal, Ranggawarsito, jaman itu disebut sebagai jaman edan. Karena pada masa tersebut sebenarnya sang Raja dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana, namun kala itu Paku Buwono dikelilingi para penjilat yang mencari keuntungan untuk diri sendiri, makanya muncul istilah “jaman edan yen ra ngedan ra keduman” ( jaman sudah gila, kalau tidak ikut gila tidak kebagian). Setelah masa itu dan menjelang era modernisasi (memasuki abad ke-20), bertahtalah Paku Buwono X (1893-1939), yang pada masa tersebut perdagangan semakin berkembang di wilayah Kraton, dan sang Raja ikut berperan dalam memasuki masa pergerakan menuju Indonesia merdeka.

Jejak enam – Pada tanggal 12 Juni 1945 bertahta Raja Kraton Kasunanan Surakarta yang ke-XII. Pemuda berusia 20 tahun yang bernama Bandoro Raden Mas Surya Guritna itu diangkat menjadi Raja Paku Buwono XII dan mendapat gelar dari masyarakat Sinuwun Amardika. Dan pada tanggal tersebut dijadikan wewaton atau patokan sebagai hari Tingalan Dalem Jumenengan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (hari ulang tahun penobatan Raja). Pada masa beliau bertahta, Kraton mengalami kebakaran hebat pada hari Kamis, malam Jum’at wage 13 Januari 1985 pukul 21:00. Pada bulan Desember 1987 bangunan Kraton selesai dibangun kembali, dan pada tanggal 16 Juli 1988 diterbitkan surat keputusan Presiden RI nomer 23 yang berisi pernyataan bahwa Kraton Kasunanan Surakarta menjadi sumber kebudayaan Nasional Indonesia yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Paku Buwono XII merupakan Raja dengan masa kepemimpinan paling lama, yaitu antara tahun 1945 – 2004, beliau wafat pada tanggal 11 Juni 2004 persis menjelang hari pelaksanaan Tingalan Dalem Jumenengan.

Jejak tujuh – Setelah mangkatnya Raja Kraton Kasunanan Surakarta Paku Buwono XII, sampailah pada jejak baru momen estafet tampuk kepemimpinan tertinggi di dalam tembok Kraton tersebut. Meskipun diawali dengan perseteruan antara Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tedjowulan dalam prosesi untuk menduduki tahta Raja ke-13, akhirnya pada tanggal 10 September 2004 Pangeran Hangabehi dinobatkan menjadi SISKS (Sampeyan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan) Paku Buwono XIII di dalam tembok Kraton hingga sekarang. Namun kala itu di luar tembok Kraton juga “ bertahta” Paku Buwono XIII Tedjowulan. Meskipun demikian, kontroversi dan pertentangan antara putra Paku Buwono XII beserta kubu masing-masing ini belum ada jalan terang yang bisa diterima dan mewakili kepentingan semua pihak dalam lingkungan tembok Kraton yang tetap berdiri kokoh tersebut. Dan puncak dalam jejak sejarah kali ini adalah, sebuah peristiwa bersejarah bersatunya kembali kedua Raja yaitu Paku Buwono XIII Hangabehi dan Paku Buwono XIII Tedjowulan dalam Dwi Tunggal Raja dan Patih pada tanggal 24 Mei 2012. Dan setelah peristiwa tersebut kedua tokoh yang sudah berdamai itu hendak memasuki Kraton yang juga sebagai tempat kediaman sang Raja, beliau ditolak oleh komunitas pemangku adat yang menamakan diri sebagai Dewan Adat, karena mereka belum bisa menerima pasangan Dwi Tunggal tersebut.

Prajurit_yang_sudah_tidak_gagah_lagi_namun_tetap_berani.jpg   Prajurit yang sudah tidak gagah lagi namun tetap berani 

Luar biasa!, sekali lagi mungkin hanya itu kalimat yang bisa diucapkan dalam hati oleh kebanyakan masyarakat di luar tembok Kraton. Jejak demi jejak masih akan terus ditinggalkan, dan sejarah akan terus mencatatnya. Sehingga sampai tanggal 15 Juni 2012 bisa saja menjadi pencerahan bagi semua kerabat Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat saat menyambut datangnya hari Tingalan Dalem Jumenengan Paku Buwono XIII. Semoga apapun masalah internal Kraton Kasunanan Surakarta yang diawali dengan keringat dan darah para soroh bahu dan pemimpin pendahulu tersebut akan tetap berdiri megah, semegah semangat para pelopor yang masih tertanam pada diri para abdi dalem dengan bukti tanda baktinya kepada siapapun Raja yang akan mempimpin mereka, dan meninggalkan jejak baik untuk menuju perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan, seperti makna yang diyakini para abdi dalem atas keberadaan Kraton. Salam Kratonpedia.

Memancarkan_kebudayaan_ke_penjuru_negeri.jpg   Kraton berperan memancarkan kebudayaan ke penjuru negeri

prof.jpg   Kesetiaan dan ngalap berkah menjadi kebahagiaan beberapa abdi dalem hingga hari tuanya 

(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia/berbagai sumber)

 

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos