Bermain Dan Belajar Bertutur Dari Kediri (1)

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

Bergaya_bersama_sebelum_dimulainya_acara.jpg

Suasana desa Bujel kecamatan Mojoroto kota Kediri saat itu masih sepi, pagi baru saja beranjak menuju siang dengan panas matahari yang cukup menyengat. Kediaman mas Pri seorang dalang wayang kulit di desa tersebut belum diwarnai kesibukan layaknya akan ada sebuah acara pementasan. Bujel adalah nama sebuah desa yang terletak di bagian barat kota Kediri, bagi masyarakat Kediri wilayah ini disebut dengan istilah daerah kulon kali, yang artinya bagian sebelah barat sungai Brantas yang menyatukan wilayah kota Kediri.

Pada tahun 1832 di kawasan Mojoroto ini pernah tinggal seorang dalang wayang klithik atau wayang krucil yang kondang bernama Ki Dermakanda. Saat itu negeri ini masih dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dan keberadaan Ki Dermakanda ini menjadi menarik karena pada saat itu seorang pembesar pemerintahan Belanda yang berkuasa berusaha mencari tahu mengenai sejarah atau asal mula daerah Kediri. Dan melalui seorang Beskal atau Jaksa Ageng pertama di Kediri saat itu yang bernama Mas Ngabehi Poerbawidjaja, yang juga seorang canggah atau cicit dari Pangeran Katawengan yang berkuasa di kota Kediri kala itu, dipanggilah dalang asal Mojoroto tersebut untuk bercerita.

Dari sedikit penggalan kisah yang terdapat di Serat Babad Kadhiri tersebut, memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana sebuah budaya bertutur sangat kuat dan sangat berarti dimasa itu sebagai media untuk menyampaikan sebuah pesan. Dan yang dipercaya menjadi mediator untuk menyampaikan kisah dengan cara bertutur tersebut adalah seorang dalang. Karena pada masa itu masyarakat yang sebagian besar adalah kaum tani atau juga dikenal dengan golongan kawula di masa itu, mengenali jejak sejarah mereka melalui dongeng-dongeng dan legenda-legenda rakyat yang diwarisi secara turun temurun, dan bukan secara langsung melalui karya sastra atau prasasti dan pusaka-pusaka seperti golongan masyarakat yang tinggal di dalam Kraton atau Kerajaan yang lebih perpendidikan di masa itu.

Kembali ke kediaman mas Pri di desa Bujel, pukul 12:00 anak-anak mulai berdatangan ke rumah mas Pri yang hari itu menjadi tempat berkumpul dan tempat berganti kostum untuk acara Kediri Bertutur. Yang terlihat secara langsung dalam acara ini adalah, keterlibatan penuh masyarakat dalam proses terus menerus mengenal budaya aslinya, dengan melibatkan secara aktif di segala persiapan dan pelaksanaannya, dan bukan semata-mata sebuah bentuk hiburan rakyat  yang umum dilakukan secara komersial. Bagi anak-anak yang terlibat, acara ini tak ubahnya seperti mereka sedang bermain di pekarangan rumah saat bulan purnama tiba. Kemeriahan justru datang dari kesederhanaan dan spontanitas yang terjadi selama persiapan hingga digelarnya acara.

Pementasan dengan gaya dolanan kampung yang digelar di halaman rumah warga ini, rencananya akan digelar mulai pukul 15:00 hari Sabtu di akhir bulan Februari lalu. Para pengisi acara yang masih berusia antara delapan tahun hingga tiga belas tahun ini berasal dari Sekolah Dasar Negeri 3 Bujel Mojoroto, yang letaknya tidak  jauh dari lokasi pementasan dan kediaman mas Pri di desa Bujel. Selain para orang tua di sekitar lokasi acara, murid-murid SD yang juga tinggal di satu desa tersebut berdatangan untuk menonton keramaian tari jaranan yang dibawakan oleh teman-teman mereka.

Tapi saat hari kian sore, lewat pukul 15:00 mendung makin gelap menyelimuti langit diatas desa Bujel. Setelah segala pesiapan sudah dilakukan, hujan deraspun turun membanjiri jalanan desa bagian barat sungai sungai Brantas tersebut. Rejekipun tak bisa ditoak, limpahan air hujan yang sangat deras hanya merubah waktu pementasan yang harusnya digelar di sore hari menjadi bergeser ke malam hari. Meskipun saat itu acara sudah dibuka dengan pertunjukan kethek ogleng atau topeng monyet yang dikerumuni oleh anak-anak desa Bujel. Hikmahnya, hari itu yang tadinya cuaca sangat panas menyengat kulit, menjadi sejuk dan dingin meski sempat banjir di sepanjang jalan desa di sekitar lokasi acara.

Saatnya menunggu malam tiba, dari perbincangan dengan anak-anak desa Bujel ini, bisa terlihat ekspresi keceriaan yang mereka rasakan. Karena bagi anak-anak desa Bujel, baik yang mengisi acara maupun penontonnya, hujan dan mundurnya waktu acara tidaklah merusak kegembiraan mereka, bermain dan bertemu teman seusia mereka dalam kondisi apapun bahkan hingga malam menjelang acara dimulai, merupakan kegembiraan yang mereka selalu rasakan seperti halnya sedang  bermain di malam Mingguan.

Terlepas dari atribut yang mereka kenakan sebagai kostum, seperti dedaunan dan topeng atau penthul yang terbuat dari bahan alam, lakon yang mereka bawakan dari cerita Panji dan Dewi Sekartajipun tidak sepenuhnya mereka pahami secara utuh, namun semangat anak-anak ini sangat menjiwai dalam membawakan setiap perannya dalam pementasan tersebut. Mulai dari ukelan atau gerakan pakem tarian dalam membawakan jaranan, hingga saat kesurupan yang biasa terjadi dalam setiap pertunjukan.

Antusias warga masyarakat yang menonton bisa bertahan hingga malam sampai detik terakhir pertunjukan jaranan usai. Suasana berubah agak lengang saat acara penutup berupa pertunjukan wayang biting atau wayang yang dibuat dari batang lidi dibawakan oleh dalang mas Pri dimulai. Hal ini mudah dimaklumi, karena memang kesenian wayang biting yang menggambarkan dunia permainan anak tempo dulu ini secara ukuran dan bentuk pertunjukannya berbeda dibanding penampilan jaranan  sebelumnya. Dan sebagian besar  warga yang menonton juga tidak memahami cerita karena bahasa penyampaiannya bukan bahasa sehari-hari, dan kurang atraktif sebagai bentuk hiburan karena ukurannya kecil dan bentuknya sederhana. Meskipun ceritanya menarik dan disampaikan layaknya sang dalang seperti sedang mendongeng, wayang biting memang kurang diminati. Tapi munculnya wayang biting ini paling tidak bisa memberikan inspirasi untuk anak-anak, bahwa alam di sekitar lingkungan mereka tinggal juga bisa melatih mereka untuk kreatif saat bermain seperti pada jaman kakek nenek mereka dahulu.  (bersambung)

Anak_anak_berkumpul_di_rumah_mas_Pri_dalang.jpg   Anak-anak berkumpul di rumah mas Pri dalang

Jaranan_dan_salam_metal.jpg   Jaranan dan salam metal 

Istri_mas_Pri_membantu_menyiapkan_kostum_dedaunan.jpg   Istri mas Pri membantu menyiapkan kostum dedaunan

Mas_Pri_dalang_dalam_persiapan_pementasan.jpg   Mas Pri dalang dalam persiapan pementasan

Hera__penari_terkecil_berusia_8_tahun_sedang_didandani_ibunya.jpg   Hera, penari laki-laki terkecil berusia 8 tahun sedang didandani oleh ibunya

Hujan_turun_saat_kerumunan_anak_anak_mulai_padat.jpg    Hujan turun saat kerumunan anak-anak mulai padat

Warga_rela_berbasah_basah__meski_akhirnya_diundur.jpg   Warga rela berbasah-basah, meski akhirnya diundur 

Hujan_deras_dan_genangan_air_membuat_acara_diundur_ke_malam_hari.jpg Hujan deras dan genangan air membuat acara diundur ke malam hari 

Gambuh_adalah_sebutan_untuk_sesepuh_jaranan_di_setiap_desa__dikenal_juga_dengan_istilah_dukun.jpg   Gambuh adalah sebutan untuk sesepuh jaranan di setiap desa, dikenal juga dengan istilah dukun

Gambuh_mempersiapkan_acara.jpg  Gambuh mempersiapkan acara 

Jaranan_tampil_dengan_kostum_dari_blarak__atau_daun_kelapa.jpg   Jaranan tampil dengan kostum dari blarak, atau daun kelapa

Pemain_gamelan_yang_juga_masih_anak_anak_mengiringi_hingga_malam.jpg   Pemain gamelan yang juga masih anak-anak mengiringi hingga malam 

Tokoh_Dewi_Sekartaji_dibawakan_dengan_gemulai_oleh_Devi.jpg   Tokoh Dewi Sekartaji dibawakan dengan gemulai oleh Devi 

Devi_Lestari_siswi_kelas_VI_SD_Negeri_3_Bujel_berperan_sebagai_Dewi_Sekartaji.jpg   Devi Lestari siswi kelas VI SD Negeri 3 Bujel berperan sebagai Dewi Sekartaji 

Ganbuh_menyiramkan_air_ke_penari_barong_yang_sedang_kesurupan.jpg   Ganbuh menyiramkan air ke penari barong yang sedang kesurupan

Dalang_mas_Pri_tampil_menutup_acara_dengan_wayang_biting.jpg    Dalang mas Pri tampil menutup acara dengan wayang biting

Kerumunan_penonton_mulai_berkurang_saat_wayang_biting_tampil.jpg   Kerumunan penonton mulai berkurang saat wayang biting tampil

Pedagang_kacang_rebus_setia_menunggu_acara_hingga_usai.jpg   Pedagang kacang rebus setia menunggu acara hingga usai 

(teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos