Nyadran, Persembahan Rasa Sayang Dan Kesetiaan (2)

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

Mbah_Poermi_masih_memasak_di_dapur_meskipun_tamu_sudah_berdatangan.jpg

Suasana dusun Karangasem pagi itu masih dingin dan agak berkabut, tapi sejak subuh mbah Poermi sudah berada di dapur untuk menyiapkan beberapa makanan untuk dibawa ke makam Melikan. Pagi itu memang tepat tanggal 12 sasi Mulud tahun 1945 perhitungan tahun Jawa, yaitu ditetapkannya hari Nyadran Mulud di dusun Karangasem tempat mbah Poermi dan keluarganya tinggal.

Lokasi diadakannya kendurian atau kepungan, atau makan bersama yang dilakukan beberapa kepala keluarga penduduk dusun yang disertai doa tersebut adalah di pemakaman dusun, yaitu yang dikenal dengan nama makam Melikan. Konon nama Melikan ini berasal dari nama pepunden (leluhur yang dituakan) di dusun Karangasem yang dimakamkan di tempat tersebut, yang bernama mbah Melik. Kisah tersebut bersumber dari sesepuh desa yang juga sudah tidak ada lagi, yaitu mbah Karto Turonggo yang dulu tinggal di dekat lokasi pemakaman tersebut. Mbah Karto adalah abdi dalem kraton Kasunanan Surakarta yang bekerja sebagai gamel atau yang mengurusi kuda di kraton. Setelah pensiun menjadi abdi dalem, mbah Karto Turonggo lebih dikenal sebagai orang yang mempunyai kemampuan lebih atau dikenal sebagai paranormal di dusun Karangasem. Dan konon pada suatu hari, mbah Karto menerima ‘wangsit’ tentang keberadaan dan nama pepunden desa tersebut pada masa lalu, yaitu mbah Melik, yang makamnya bersebelahan dengan tempat tinggal mbah Karto. Dan sejak saat itu akhirnya pemakaman yang tadinya hanya berisi dua cungkup makam tersebut diberi nama Melikan, dan digunakan untuk pemakaman desa Karangasem hingga sekarang.

Terlepas dari asal usul nama Melikan yang sudah turun temurun diyakini tersebut, Karangasem sendiri sebenarnya dulunya adalah merupakan lahan perkebunan teh yang luas hingga lereng gunung Merbabu. Perkebunan teh tersebut adalah milik kraton Kasunanan Surakarta pada masa kepemimpinan Paku Buwono XI. Lahan teh tersebut disewakan kepada Belanda pada saat itu, dan penduduk sekitar lereng gunung Merbabu bekerja sebagai buruh petik dan buruh pabrik pengolahan teh di daerah Ampel, Kembang dan Ngadirojo.

Sedangkan tradisi Nyadran di seputar lereng Merbabu ini sudah menjadi tradisi turun temurun, mulai dari desa bagian atas yaitu di desa Pantaran lokasi makam  Syech Maulana Malik Ibrahim Maghribi hingga bagian bawah lereng yaitu di desa Karangasem. Dan keunikan yang mendasari kenapa ingkung menjadi istimewa dalam tradisi Nyadran ini adalah, konon pada jaman penjajahan Belanda dulu ada ungkapan yang mengatakan bahwa orang Jawa itu hanya makan daging ayam dua kali dalam hidupnya. Yaitu pada saat ayam peliharaannya mati, dan yang kedua pada saat yang memelihara ayam sakit. Pertama, saat ayamnya mati, pasti ayam tersebut sayang untuk dibuang, dan akan dimasak untuk dijadikan lauk. Kemudian pada saat yang punya ayam sakit, untuk menghibur agar cepat sembuh maka akan dimasakkan ayam sebagai lauknya. Sungguh aneh memang, meskipun itu bukanlah asal usul yang bisa dijamin kebenarannya, namun setidaknya setiap tradisi mempunyai keunikan ceritanya masing-masing.

Nyadran bagi masyarakat dusun Karangasem yang jelas merupakan momen yang ditunggu-tunggu, pada hari tersebut yang paling utama selain kendurian untuk memanjatkan doa-doa untuk keselamatan dan ampunan bagi para leluhur dimakam desa, bentuk silaturahmi dengan saling mengunjungi dan gotong royong dalam menyiapkannya menjadi sangat penting melebihi meriahnya lebaran. Perbedaan dengan tradisi lebaran adalah, dalam silaturahmi Nyadran, tidak hanya orang yang lebih muda saja yang berkunjung ke orang yang dituakan, tapi orang yang lebih tua atau dituakan juga bisa mendatangi rumah orang yang lebih muda untuk sekedar ngobrol atau menikmati suguhan yang disiapkan oleh tuan rumah.

Bagi warga desa yang menjalankan tradisi Nyadran, mereka akan berperan sebagai tuan rumah, dan warga desa lain yang pelaksanaan Nyadrannya di waktu yang berbeda, akan datang sebagai tamu dan menikmati suguhan walaupun hanya sedikit sebagai syarat atau penghormatan kepada tuan rumah. Bahkan terkadang satu orang bisa minum teh panas manis hingga lima  puluh gelas, atau makan beberapa kali, karena mereka berkeliling bertamu ke beberapa rumah dalam satu hari tersebut. Inilah keunikan dalam tradisi Nyadran yang sangat diwarnai bentuk dari kasih sayang yang sebenarnya, kerukunan dan gotong royong yang masih sangat kuat ini terbentuk berkat kesetiaan mereka menjalankan tradisi yang mereka warisi.

Begitu juga dengan mbah Poermi, mbah Wiryo, pak Darmo, Ratno, Pak Slamet dan mungkin hingga generasi mereka berikutnya nanti. Yang mereka jalani sekarang sebenarnya merupakan sebuah tradisi yang turun temurun mereka warisi dan akan tetap demikian maknanya bila anak cucu mereka meneruskan di kelak kemudian hari. Sebuah kerukunan dan gotong royong dalam kebersamaan kehidupan masyarakat desa yang diwarnai dengan kasih sayang dan kesederhanaan di dalamnya.  Salam Kratonpedia.

Sejak_subuh_proses_memasak_sudah_dimulai.jpg Sejak subuh mbah Poermi kembali menyiapkan masakan untuk Nyadran  

Kucing_kesayangan_mbah_Poermi_sudah_sejak_subuh_terbangun_di_samping_tungku.jpg Kucing kesayangan mbah Poermi masih setia  menemani 

Menikmati_teh_di_dapur_untuk_memulai_aktifitas_pagi_hari.jpg Menikmati teh di dapur untuk memulai aktifitas pagi hari

Menyiapkan_air_panas_untuk_mandi.jpg   Setelah semua masakan sudah siap, mbah Poermi menyiapkan air panas untuk mandi

Makanan_kecil_dan_buah_yang_akan_di_bawa_ke_acara_Nyadran_pagi_pagi_sudah_siap_di_nampan.jpg Makanan kecil dan buah yang akan di bawa ke acara Nyadran sudah siap di nampan

Mbah_Wiryo_asyik_melinting_tembakau_sambil_menikmati_teh_pagi.jpg   Mbah Wiryo sudah tidak mampu lagi datang ke makam untuk kenduri    

Setiap_kepala_keluarga_membawa_nampan_berisi_makanan_untuk_acara_minum_teh_dan_tahlilan_di_makan_Melikan.jpg Setiap kepala keluarga membawa nampan berisi makanan untuk acara minum teh dan tahlilan

Sebelum_acara_dimulai__makanan_yang_dibawa_masih_ditutup_dengan_lembaran_koran__dan_teko_berisi_teh_panas_manis_belum_dituang.jpg Menunggu kedatangan warga lain ke lokasi kenduri

Silaturahmi_antar_warga_yang_diwarnai_canda_tawa_dan_makan_bersama_disatukan_dalam_Nyadran.jpg Silaturahmi Ratno (tengah) dan warga dusun Karangasem yang diwarnai canda tawa

Hanya_kaum_laki_laki_yang_hadir_dalam_tahlilan_dan_acara_minum_teh_pagi_di_lokasi_acara_Nyadran.jpg   Hanya kaum laki-laki yang hadir dalam tahlilan dan acara minum teh pagi di lokasi acara Nyadran 

Tahlilan_dipimpin_seorang_ulama_dusun_untuk_mendoakan_leluhur_mereka.jpg Tahlilan dipimpin seorang ulama dusun untuk mendoakan leluhur mereka

Menikmati_makanan_yang_dibawa_dalam_kebersamaan_dan_berbagi_dengan_yang_tidak_mampu.jpg   Menikmati makanan yang dibawa dalam kebersamaan dan berbagi dengan yang tidak mampu 

Selesai_acara_minum_teh_dan_menyantap_makanan_kecil__mereka_membawa_nampan_kembali_pulang.jpg   Sesi pertama selesai, nampan kembali dibawa pulang untuk mengambil ingkung dan tumpeng

Para_laki_laki_kembali_ke_rumah_dan_mengambil_ingkung_untuk_dimakan_bersama_di_makam_Melikan.jpg   Para laki-laki kembali ke makam membawa ingkung untuk acara kepungan (makan bersama)

Slamet Widodo anak pertama mbah Poermi membawa ingkung menuju lokasi kepungan_1.jpg   Slamet Widodo anak pertama mbah Poermi membawa ingkung menuju lokasi kepungan 

Ratusan_ingkung_dan_tumpeng_nasi_gurih_dalam_kemeriahan_Nyadran_Mulud.jpg Ratusan ingkung dan tumpeng nasi gurih dalam kemeriahan Nyadran Mulud

Menunggu_saatnya_pembacaan_doa.jpg   Menunggu saatnya pembacaan doa sebelum makan bersama

Kepungan_adalah_istilah_untuk_acara_makan_ingkung_dan_nasi_tumpeng_bersama_sama_di_acara_Nyadran_dusun_Karangasem.jpg Kepungan adalah istilah untuk acara makan bersama dalam tradisi Nyadran

Generasi_yang_lebih_tua_berbaur_dengan_generasi_yang_lebih_muda_dalam_acara_makan_bersama.jpg Berkumpul antar generasi dalam kepungan Nyadran

Saatnya_makan_telah_tiba.jpg   Hanya kaum perempuan yang masih usia anak-anak yang terlihat di lokasi makan bersama 

hl_2_1.jpg Selesai makan bersama, sisa ingkung dan tumpeng dibawa pulang

Usai_tahlilan_di_makam__sesampainya_di_rumah_sudah_mulai_kedatangan_tamu.jpg   Usai tahlilan di makam, tamupun mulai berdatangan

Hidangan_makan_menjadi_suguhan_wajib__kerupuk_udang__terik_daging__srundeng__telur_puyuh_adalah_hasil_masakan_mbah_Poermi.jpg   Makan dengan lauk kerupuk udang, terik daging, srundeng dan masakan mbah Poermi lainnya

Pak_Darmo_di_ruang_tamu_rumahnya_yang_selalu_ramai_didatangi_tetangga_jauh_yang_tidak_melaksanakan_Nyadran.jpg   Suasana rumah pak Darmo yang selalu ramai dengan tamu saat Nyadran

Menu_Nyadran_di_rumah_pak_Darmo__siap_menjamu_tamu_yang_datang.jpg   Menu Nyadran di rumah pak Darmo, siap menjamu tamu yang datang

 (teks dan foto : Wd Asmara/Kratonpedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos