Tiwul: Obat Kangen Dari Gunungkidul

Foto oleh : Aan Prihandaya
Pin It

01.jpg

Gunungkidul saat itu, dengan kondisi alamnya yang tandus menjadi lahan yang tidak tepat untuk bertanam padi, namun membuat tanaman ketela pohon / ubi kayu tumbuh subur di sana. Oleh karena itu, bagi masyarakat Gunungkidul, ketela adalah makanan pokok pengganti nasi. Dengan kemampuan berinovasi, ketela diolah menjadi makanan yang memiliki rasa mirip dengan nasi. Hanya saja teksturnya lebih kecil dan berbentuk bulat-bulat kecil.

Bagi yang belum pernah mendengar, nama makanan ini terdengar lucu: Tiwul. Terbuat dari tepung gaplek, yaitu ketela yang dikeringkan. Tiwul adalah makanan khas dan sempat menjadi makanan pokok masyarakat Gunungkidul. Makanan yang dahulu sempat diidentikan dengan kemiskinan, sekarang mampu menembus batas gengsi. Tiwul bukan lagi sekedar makanan pengganti nasi, namun sudah menjadi kuliner yang banyak dicari.

Keistimewaan Tiwul ada pada rasanya yang manis dan gurih. Selain itu, di dalam tiwul juga dapat dirasakan aroma gula merah yang berpadu dengan kelapa parut. Bentuknya yang terdiri dari gumpalan butiran-butiran kecil dan sedikit kenyal membuat makanan khas ini nikmat disantap. Sangat pas dihidangkan saat masih hangat, dengan taburan serutan kelapa muda.

Cara mengolah ketela menjadi tiwul cukup sederhana. Pertama-tama, ketela pohon dikupas, kemudian dijemur sampai kering. Ketela kering ini disebut gaplek. Kemudian gaplek tersebut dihaluskan hingga menjadi tepung. Pada jaman dahulu, proses ini dilakukan dengan cara sederhana dan lama. Gaplek ditumbuk menggunakan lumpang batu hingga menjadi tepung. Namun saat ini sudah ada mesin penggilingan khusus, sehingga lebih cepat dan kehalusan tepung lebih seragam. Tepung singkong - atau disebut tepung tapioka - tersebut lalu diberi campuran air dan gula jawa, kemudian diaduk di atas tampah hingga membentuk butiran-butiran kecil, kurang lebih seperti butiran nasi.

Kemudian dilakukan proses yang disebut ditinting. Proses ini seperti mengayaki butiran beras. Butiran-butiran tiwul diletakkan di dalam tampah, kemudian diayak dan dilempar-lempar hingga butiran kasar dan halus menjadi terpisah. Dibutuhkan keahlian khusus untuk melakukan proses ini.

Setelah itu, butiran tiwul halus diletakkan dalam kukusan dari kulit bambu. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah, perlu dibuat lubang di tengah tiwul tersebut yang fungsinya sebagai jalan keluar uap air saat dikukus. Setelah siap, tiwul dikukus selama kurang lebih 30 menit.  Untuk memperoleh rasa yang lebih gurih, tiwul dikukus dengan menggunakan kayu bakar.

Saat ini tiwul sudah menjadi kuliner andalan Gunungkidul dan banyak dicari orang. Warung "Yu Tum" yang berada di Jl. Pramuka, Wonosari, menjual satu besek (kardus dari anyaman bambu)  seharga Rp 12.000,-. Dalam satu hari rata-rata menghabiskan 80 kg hingga 1 kuintal tepung ketela.  Di saat musim liburan bisa menghabiskan lebih banyak lagi. Dan pembelinya justru para wisatawan dari luar kota sebagai oleh-oleh. Ini menjadi bukti bahwa Tiwul bukan lagi makanan yang identik dengan kemiskinan, namun telah berproses menjadi alternatif kuliner  yang mulai digemari dan layak untuk dicicipi. Salam Kratonpedia.

02.jpg

Tepung tapioka, terbuat dari ketela kering yang disebut gaplek, kemudian dihaluskan.

03.jpg

Tepung ketela diberi campuran air dan gula jawa.

04.jpg

Diaduk merata hingga semua tepung bercampur dengan air gula jawa.

05.jpg

Tepung dan air gula jawa bercampur menjadi adonan bahan tiwul.

06.jpg

Adonan tersebut kemudian ditinting, untuk memisahkan butiran halus dan kasar.

07.jpg

Adonan bahan tiwul dimasukkan dalam kukusan kemudian diberi lubang untuk jalan uap air.

08.jpg

Dikukus selama 30 menit. Lebih enak pakai kayu bakar.

09.jpg

Tiwul hangat siap disantap.

10.jpg

Jangan lupa taburi parutan kelapa muda agar tiwul manis menjadi terasa gurih.

(teks & foto: Aan Prihandaya/Kratonpedia)


Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos