Bali Terbuka Dan Warung Muslimpun Dibuka

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

nasi_banyuwangi3_1.jpg

Mengenal Bali pasti juga akan mengenal makanan favorit khas pulau tersebut, yakni nasi campur. Nasi campur khas Bali mirip dengan makanan khas yang sering ditemui di wilayah Jawa yaitu nasi rames. Tapi kesamaan tersebut hanya terlihat pada cara penyajiannya yang terdiri dari nasi putih berikut  aneka lauk pelengkapnya yang bermacam-macam dengan kombinasi rasa manis gurih dan pedas.

Tapi sebenarnya di Bali atau khususnya di kota Denpasar, banyak menu makanan dari Jawa yang masuk dengan berbagai adaptasi penyajian gaya Bali tetapi dengan resep yang dibawa dari daerah asal pemilik warung makan tersebut. Apalagi karena adanya perbedaan tradisi dalam penggunaan bahan makanannya, keberadaan warung dari luar Bali ini tumbuh berkembang untuk memenuhi pasar yang berasal dari kalangan muslim yang tinggal di pulau tersebut.

Seperti keberadaan beberapa warung makan asal Banyuwangi yang kebetulan secara geografis mempunyai kedekatan jarak dengan pulau Bali. Mereka mudah ditemukan khususnya di lokasi perkotaan seperti di kota Denpasar dan kota-kota Kabupaten. Menu yang disajikan lengkap dan bisa dinikmati untuk kalangan muslim yang tinggal di perkampungan yang kalau di Bali akrab disebut kampung Jawa, karena banyak dihuni para pendatang atau perantauan dari Jawa yang rata-rata muslim.

Masyarakat Jawa khususnya umat muslim, selain kaum urban yang memang datang pada era moderen sekarang ini, konon menurut beberapa masyarakat muslim Bali meyakini memang komunitas muslim di Bali sudah ada sejak masuknya Majapahit menjelajah pulau ini. Dan sejak saat itu mulai tumbuh baik karena adanya perkawinan silang maupun yang memang datang menetap bersama keluarga hingga keturunannya menyebar sampai di beberapa wilayah pulau Bali.

Dan kalau belajar dari sejarah Bali tempo dulu, toleransi dan keterbukaan masyarakat Bali akan masuknya para pendatang muslim ini sangat baik dan patut menjadi contoh bagaimana sistem tatanan mereka tidak membuat kehidupan masyarakat terkotak-kotak hanya karena sebuah keyakinan yang berbeda. Perbedaan itu tumbuh berdampingan dan sekian lama berjalan menjadi sebuah budaya “guyub rukun” yang saling mengisi satu sama lain.

Belajar dari sejarah, itulah yang menjadi alasan beberapa perantau khususnya para pendatang dari Banyuwangi yang membuka usaha warung makan ini memulai langkahnya. Karena mereka merasa dipersatukan oleh lautan dan bukan dipisahkannya, sehingga mulai dari leluhur mereka dulupun datang ke Bali untuk ikut merasakan berkah yang berlimpah dari pulau dewata ini.

Bahkan sebagian masyarakat Balipun menganggap keberadaan mereka memberikan kontribusi positif untuk melengkapi Bali sebagai daerah kunjungan wisata yang didatangi masyarakat dari berbagai penjuru negeri. Karena masalah utama menyangkut kebutuhan perutpun bisa teratasi dengan hadirnya keberagaman menu makanan dari para pendatang tersebut.

Toh hadirnya warung-warung muslim asal Banyuwangi ini tidak menurunkan bahkan menghilangkan sedikitpun minat untuk mencicipi nikmatnya menyantap nasi campur khas Bali. Karena dari awalnya perbedaan yang ada dianggap sebagai keuntungan untuk saling melengkapi, sehingga kalau mereka selalu belajar dari sejarah, semakin banyak keindahan yang bisa dinikmati  di Pulau Bali ini. Kesadaran berbagi ini yang terkadang muncul justru dari kalangan masyarakat biasa yang hidup berbaur di sektor informal seperti lingkungan pasar tradisional dan warung-warung makan pinggiran jalan di daerah Bali.

Semakin sederhana sudut pandang yang digunakan, membuat berkah itu semakin mudah dirasakan. Setidaknya itu yang terlihat selama menyusuri jalanan baik di kota Denpasar maupun beberapa kota Kabupaten di wilayah Bali. Dan keberadaan warung-warung makan Banyuwangi di Bali telah memberikan pilihan penjelajahan lidah untuk mencicipi. Selamat Menunaikan Ibadah Puasa dan Salam KratonPedia.

nasi_banyuwangi4_1.jpg 

nasi_banyuwangi2_1.jpg 

(teks dan foto : Wd Asmara/KratonPedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos