Kisah Dibalik Indahnya Panorama Pura Uluwatu

Foto oleh : Wd Asmara
Pin It

 hilight_Uluwatu_3_1.jpg

Pura Uluwatu merupakan salah satu pura tertua yang ada di Bali, yang didirikan oleh DangHyang Nirartha. Di tempat inilah beliau menghabiskan sisa hidupnya sebelum akhirnya meluhur, atau Moksa yang artinya mencapai kebahagiaan abadi.

Pura ini terletak di semenanjung paling selatan pulau Bali. Dengan kondisi geografi yang curam dan terjal di pebukitan kapur yang panas, ombak menghantam dinding anjungan batu dengan ganas. Sudah sifatnya bahwa batu sekeras apapun pasti akan terkikis, namun inilah keajaiban karang di Uluwatu karena sampai saat ini pura ini masih berdiri tegak setelah berabad-abad lamanya walau dihantam ombak.

Lokasi tempat dibangunnya Pura ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian sekitar 97 meter di atas permukaan laut. Dari situlah muncul nama Uluwatu. Yang artinya Ulu adalah kepala dan watu berarti batu.

Pura Luhur Uluwatu merupakan salah satu dari enam buah pura yang berstatus Sad Khayangan Jagat. Pura ini berdiri megah di ketinggian dan menjorok ke laut, sungguh pemandangan yang indah dan tidak bisa ditemukan di daerah manapun.

Pura Khayangan Jagat atau Pura Khayangan merupakan tempat masyarakat umum memuja  Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan)  dalam berbagai perwujudan-Nya dan juga tempat memuja  roh para leluhur. Yang termasuk dalam kategori Pura Khayangan Jagat, di antaranya, ialah Pura Sad Khayangan (sad = enam), yaitu pura yang berada di enam lokasi Khayangan besar di Pulau Bali.  Pura Sad Khayangan terdiri atas: Pura Luhur Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Watukaru, Pura Bukit Pengalengan dan Pura Besakih. Pura Sad Khayangan diyakini sebagai sendi spiritual Pulau Bali atau pelindung pemberi berkah dan keselamatan dan merupakan pusat kegiatan keagamaan. 

Pura bersejarah ini berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, kalau ditempuh dengan perjalanan darat dari Denpasar memerlukan waktu kurang lebih satu setengah jam serta menempuh jarak sekitar 31 km. Di depan Pura terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian pura yang ditinggali ratusan kera abu-abu.. 

Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu adalah Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan. Masing-masing Pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu, terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari. Persembahyangan di Pura Uluwatu ditujukan kepada Dewa Rudra.

Menurut cerita sejarah Bali, sekitar tahun 1489 Masehi datanglah seorang Purohita ke Pulau Bali, Purohita  adalah sastrawan dan rohaniwan yang bernama Dang Hyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra adalah seorang pendeta Hindu, kelahiran Kediri, Jawa Timur (Kerajaan Majapahit)

Danghyang Dwijendra pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha. Beliau menikahi seorang putri di Daha, Jawa Timur. Di tempat itu pula beliau berguru dan di-diksa (pemberkatan) oleh mertuanya. Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra.

Setelah di-diksa, Danghyang Dwijendra diberi tugas melaksanakan dharmayatra sebagai salah satu syarat kawikon. Dharmayatra ini harus dilaksanakan di Pulau Bali, dengan tambahan tugas yang sangat berat dari mertuanya yaitu menata kehidupan adat dan agama khususnya di Pulau Bali.

Maka dari situlah diyakini bahwa selain Pura Sad Khayangan, yang termasuk dalam kategori  Pura Khayangan Jagat adalah  Pura Dhang Khayangan, yaitu pura yang dibangun oleh pemimpin spiritual pada masa lalu. Sebagian besar Pura Dhang Khayangan mempunyai kaitan erat dengan Dhang Hyang Dwijendra.

Dalam  kisah sejarah itu pula diceritakan, bahwa pada saat Dhang Hyang Dwijendra melaksanakan tugas suci dari sang mertua itu terjadi pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar tahun 1411 Saka (1489 M). Sedangkan tugas yang sedang dilaksanakan oleh Dhang Hyang Dwijendra tersebut dikenal sebagai prosesi yatra (perjalanan spiritual) yang menempuh rute dengan mengelilingi Pulau Bali, sampai ke Nusa Penida dan Lombok. Di beberapa tempat yang disinggahi Dhang Hyang Dwijendra  dibangunlah beberapa pura, termasuk Pura Luhur Uluwatu yang menjadi akhir dari yatra sang Pedanda asal Majapahit tersebut.

Dibalik kisah sejarah dan keluhuran atas keberadaan Pura ini, banyak keindahan yang mempesona dari sisi pemandangan alamnya. Seperti keindahan panorama pantai Pecatu siang hari di kaki tebing Pura Luhur Uluwatu, menikmati pemandangan sunset dari balik tebing yang menawan hati dan membuat siapapun akan semakin mengagumi Keagungan Sang Pencipta alam.

Tak berhenti sampai disitu, keelokan Pura ini juga semakin lengkap dengan sebuah pertunjukan budaya yang dipergelarkan di pelataran terbuka dengan latar belakang pemandangan matahari terbenam. Pertunjukan Tari Kecak biasa ditampilkan di tempat  ini, tarian yang sakral dan atraktif ini dibawakan oleh 70 penari laki-laki bertelanjang dada yang menceritakan kisah Rama dan Sinta dalam Ramayana.

Sebuah perjalanan spiritual yang tidak sia-sia dari seorang sastrawan dan rohaniawan Majapahit ke pulau Bali, yang masih meninggalkan jejak keluhuran serta berkah bagi penduduk di daerah pebukitan batu padas yang dulunya gersang dan panas. Kini Desa Pecatu tumbuh menjadi tempat yang ramai dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar dan umumnya masyarakat Bali, tapi tetap terjaga dengan sebuah tatanan serta tuntunan yang dulu menjadi tugas Dhang Hyang Dwijendra. Keindahan panorama Pura Luhur Uluwatu banyak memberikan makna, walau hanya sedikit yang bisa kita bagi. Salam KratonPedia.

P_Uluwatu_1_1.jpg

hilight_Uluwatu_2_1.jpg 

(teks dan foto : Wd Asmara/KratonPedia)

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos