Bandung Wayang Festival 2011: Merayakan Perbedaan dalam Keberagaman

Foto oleh : FG. Pandhuagie
Pin It

Ungkapan Tak Kenal Maka Tak Sayang, bisa jadi terdengar begitu sederhana. Namun, ungkapan ini bisa sedikit mengusik jika kita bicara tentang jagat Wayang Nusantara. Pekan terakhir April lalu (22-30/4), sekelompok komunitas peduli wayang di Kota Bandung, Yayasan Narada, Kai Sadhana Services dan Amrta Vision, yang didukung penuh oleh Dewan Kerajinan Nasional daerah (Dekranasda), Jawa Barat menggagas event Bandung Wayang Festival (BWF).

Selain Institut Teknologi Nasional (ITENAS), Bandung, yang dijadikan venue utama perhelatan wayang ini, sebagai tempat pendukung lainnya yang tersebar dibeberapa titik, seperti Kota Baru Parahyangan, Universitas Padjajaran (UNPAD), Museum Barli, Toko-U, dan Bandung Indah Plaza (BIP). BWF kali ini, bermaterikan: pameran dan workshop, pertunjukan tradisi dan kontemporer, sarasehan, serta diskusi.

BWF menjadi sebuah  media  pelestarian, kajian, eksplorasi, serta pengembangan Wayang. Selain itu, sebagai sarana mensosialisasikan kembali warisan budaya bangsa Indonesia yang diakui oleh UNESCO sebagai World Heritage pada 7 November 2003 silam. Kegiatan ini juga adalah bentuk kepedulian pemerintah bersama masyarakat pecinta wayang untuk memasyarakatkan dan mempopulerkan kembali Wayang Nusantara.

Ragam Wayang

BWF kali ini, menghadirkan seniman dan kelompok wayang dari dalam dan luar negeri. Wayang yang ditampilkan mulai dari tradisional hingga kontemporer. Dari keseluruhan pendukung pertunjukan perdana BWF itu, tak kurang diikuti sekitar 300 orang pendukung. Kehadiran mereka, mengisi lebih dari 50 agenda dalam berbagai pertunjukan, pameran dan workshop yang tersebar di 6 lokasi utama BWF di seputar Kota Kembang, Bandung.

Di kelompok wayang tradisi, tampil wayang golek rampak 40 dalang dari SMK Negeri 10, Bandung, selain tampilnya seorang dalang cilik, Adi Tan Deseng, serta wayang golek purwa dari dalang, Opik Sunandar Sunarya. Ada juga pertunjukan wayang kulit antara lain dimainkan dalang, Ki Joko Karsono dan Ki Prayoga (Jakarta), Ki Achmadi (Indramayu), Ki Purbo Asmoro (Solo), Ki Enthus Susmono (Tegal) dan Grup Kesenian Satria Laras yang menampilkan wayang kulit dan golek, Marifat Dewa Ruci.

Serta sajian pergelaran wayang orang yang menampilkan The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka dan Wayang Orang (WO) Irama Citra, Yogyakarta, dalam lakon Candabirawa. Masih ada, Ki Suhud dengan Wayang Potehi, serta Wayang Kartun, Durmo Gati Nglindur dari Bagong Soebardjo (Yogyakarta). Serta konser karawitan Sunda dan Surakarta, serta beberapa tampilan karawitan talu dari Sudarsono dan ISI Surakarta, serta gaya pesisiran dari Daryono, dkk dari Soka Budaya ikut menyemarakkan festival ini.

Di sisi lain, kelompok wayang kontemporer terlihat hiruk-pikuk. Dari jenis video art, ada film animasi berdurasi singkat dari Anunsiata Srisabda yang mengusung tema kesetaraan lelaki dan perempuan serta kesetiaan pasangan lewat Sinta Obong. Kisah Dewi Sinta yang diminta suaminya, Rama untuk membuktikan kesuciannya dengan masuk ke dalam api. Ada juga, Wayang Machine (2001), yang berangkat dari tradisi Jawa dan Bali, karya Krishna Murti yang sempat dipamerkan keliling di beberapa kota.

Sedangkan Wayang Tavip, mencoba memainkan ulang wayang kulit bertema sosial dalam lakon Sie Jin Kwie yang pernah dipentaskan bersama Teater Koma. Lain halnya, dengan kisah kelahiran dan perseteruan tiga Batara: Antaga, Ismaya, dan Manikmaya, hasil besutan R. Agustinus Denny lewat film animasi berdurasi 20 menit berjudul Purwacarita. Selain tentunya, beberapa karya menarik dari penggiat-penggiat muda wayang kontemporer dari manca negara yang hadir di tampilan perdana BWF kali ini.

Masa Depan Wayang

Menurut Direktur Festival, Hermawan Rianto, silaturahmi seniman wayang ini demi memelihara wayang serta menampilkan perkembangan seni ini, ke masyarakat luas setelah UNESCO (2003), silam memberi pengakuan wayang kulit sebagai World Master Piece of Oral and Intangibel Heritage of Humanity. “Generasi muda, banyak yang mengembangkan wayang dengan berbagai media, pendalaman, dan pemahaman baru. Ini saat yang tepat untuk memberi arah kesenian ini tumbuh,” imbuhnya bersemangat.

BWF membuka seluas-luasnya bagi perkembangan Wayang Nusantara, dengan menampilkan berbagai genre wayang, baik tradisi maupun kontemporer. “Bagaimanapun, wayang kita mulai termarjinalkan oleh persepsi bahwa wayang adalah tontonan orang tua. Padahal, wayang bisa dinikmati siapa pun termasuk anak muda. Hidup-matinya wayang bergantung ada tidaknya penonton,” himbau Direktur Pertunjukan BWF, Bram Palgunadi mengingatkan.

Di sini terlihat, upaya memelihara dan mengembangkan wayang adalah dengan menjaga para pelaku agar bisa terus-menerus mengembangkan masyarakat  penontonnya. “Kerja itu pun masih harus dilandasi keluasan wawasan untuk memahaminya. Makanya, BWF bukan kerja sekelompok orang saja, melainkan hasil kerja sama banyak pihak. Kami di BWF hanya menyediakan medianya dan mempersilahkan para seniman  bermain di panggungnya,” tegas Hermawan Rianto kemudian.

“Terlepas dari hasil penyelenggaraan event yang kurang maksimal, BWF memang perlu diapresiasi. Karena berjuang menjadi media presentasi berbagai pertunjukan wayang untuk memperkenalkan dan melihat lebih dekat apresiasi masyarakat saat menikmati keberagaman dalam dunia wayang,“ tandas Sunardi, Ketua Kelompok Tari Irama Citra, yang juga Kepala Sekolah SMKI Yogyakarta itu, usai kelompoknya mementaskan lakon Wayang Wong, Candabirawa, di ITENAS.

Tak heran, BWF berusaha menjadi media presentasi dari berbagai kajian tentang wayang untuk mengajak masyarakat melihat wayang dengan cara pandang berbeda. Meski, harus diakui perhelatan perdana yang sebelumnya sempat tertunda itu, kurang di kelola dan bersinergi dengan maksimal. Dari mulai agenda event, sosial media promosinya, sampai buku panduan yang di cetak terbatas. Kendati, melalui event ini, diharapkan mampu menjadi upaya nyata mengembangkan wayang yang mulai terasa kian terpinggirkan. Semoga...

Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos