Ungkapan Tak Kenal Maka Tak Sayang, bisa jadi terdengar begitu sederhana. Namun, ungkapan ini bisa sedikit mengusik jika kita bicara tentang jagat Wayang Nusantara. Pekan terakhir April lalu (22-30/4), sekelompok komunitas peduli wayang di Kota Bandung, Yayasan Narada, Kai Sadhana Services dan Amrta Vision, yang didukung penuh oleh Dewan Kerajinan Nasional daerah (Dekranasda), Jawa Barat menggagas event Bandung Wayang Festival (BWF).
Di kelompok wayang tradisi, tampil wayang golek rampak 40 dalang dari SMK Negeri 10, Bandung, selain tampilnya seorang dalang cilik, Adi Tan Deseng, serta wayang golek purwa dari dalang, Opik Sunandar Sunarya.
Serta sajian pergelaran wayang orang yang menampilkan The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka dan Wayang Orang (WO) Irama Citra,
Di sisi lain, kelompok wayang kontemporer terlihat hiruk-pikuk. Dari jenis video art, ada film animasi berdurasi singkat dari Anunsiata Srisabda yang mengusung tema kesetaraan lelaki dan perempuan serta kesetiaan pasangan lewat Sinta Obong. Kisah Dewi Sinta yang diminta suaminya, Rama untuk membuktikan kesuciannya dengan masuk ke dalam api. Ada juga, Wayang Machine (2001), yang berangkat dari tradisi Jawa dan Bali, karya Krishna Murti yang sempat dipamerkan keliling di beberapa kota.
Sedangkan Wayang Tavip, mencoba memainkan ulang wayang kulit bertema sosial dalam lakon Sie Jin Kwie yang pernah dipentaskan bersama Teater Koma. Lain halnya, dengan kisah kelahiran dan perseteruan tiga Batara: Antaga, Ismaya, dan Manikmaya, hasil besutan R. Agustinus Denny lewat film animasi berdurasi 20 menit berjudul Purwacarita. Selain tentunya, beberapa karya menarik dari penggiat-penggiat muda wayang kontemporer dari manca negara yang hadir di tampilan perdana BWF kali ini.
Masa Depan Wayang
Menurut Direktur Festival, Hermawan Rianto, silaturahmi seniman wayang ini demi memelihara wayang serta menampilkan perkembangan seni ini, ke masyarakat luas setelah UNESCO (2003), silam memberi pengakuan wayang kulit sebagai World Master Piece of Oral and Intangibel Heritage of Humanity. “Generasi muda, banyak yang mengembangkan wayang dengan berbagai media, pendalaman, dan pemahaman baru. Ini saat yang tepat untuk memberi arah kesenian ini tumbuh,” imbuhnya bersemangat.
BWF membuka seluas-luasnya bagi perkembangan Wayang Nusantara, dengan menampilkan berbagai genre wayang, baik tradisi maupun kontemporer. “Bagaimanapun, wayang kita mulai termarjinalkan oleh persepsi bahwa wayang adalah tontonan orang tua. Padahal, wayang bisa dinikmati siapa pun termasuk anak muda. Hidup-matinya wayang bergantung ada tidaknya penonton,” himbau Direktur Pertunjukan BWF, Bram Palgunadi mengingatkan.
Di sini terlihat, upaya memelihara dan mengembangkan wayang adalah dengan menjaga para pelaku agar bisa terus-menerus mengembangkan masyarakat penontonnya. “Kerja itu pun masih harus dilandasi keluasan wawasan untuk memahaminya. Makanya, BWF bukan kerja sekelompok orang saja, melainkan hasil kerja sama banyak pihak. Kami di BWF hanya menyediakan medianya dan mempersilahkan para seniman bermain di panggungnya,” tegas Hermawan Rianto kemudian.