Sinar matahari pagi sudah terasa menyengat. Namun rasa gerah setelah berjalan kaki menyusuri kawasan kota lama Semarang, menjadi sirna setelah mencapai ujung jalan Pemuda, di kawasan Bundaran Tugu Muda. Di salah satu sudut, gedung tua bergaya art deco, penampilannya kokoh dan eksotis berdiri tegak gedung Lawang Sewu. Bangunan ini disebut Lawang Sewu yang berarti Pintu Seribu karena banyaknya jumlah pintu. Namun kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memang memiliki banyak jendela tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering keliru menganggapnya sebagai pintu.
Lawang Sewu merupakan gedung dengan arsitektur perpaduan gaya Eropa dalam keunikan lokal. Bagian depan gedung ini diapit dua menara kembar menjulang. Di belakang kedua menara, tampak selasar dengan puluhan jendela tinggi dan besar yang berjajar serta barisan pintu-pintu. Sentuhan seni arsitektur yang unik membuat gedung ini terlihat anggun. Kaca mozaik yang mengiasi interior bangunan menampilkan keindahan yang membuat kagum. Karena kemegahan dan keindahan bangunan ini, sangatlah pantas bila Lawang Sewu dijuluki Mutiara dari Semarang.
Banyaknya pintu dan jendela besar sehingga dinamai Lawang Sewu
Bangunan utama Lawang Sewu berupa tiga lantai bangunan yang seakan memiliki dua sayap membentang ke bagian kanan dan kiri. Masing masing ruangan terhubung oleh pintu yang berjajar memanjang. bangunan paling atas adalah hall atau aula yang cukup luas. Namun yang paling menarik dari bangunan ini adalah ruang bawah tanahnya. Di mana terdapat lorong panjang berliku dan gelap yang digenangi air sebatas mata kaki. Menurut pemandu, lorong ini berfungsi sebagai pendingin ruangan di atasnya.
Lawang Sewu merupakan bangunan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1904. Pada awalnya, gedung ini dipakai sebagai kantor jawatan kereta api Belanda, Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Pada tahun 1942, gedung ini diambil alih oleh Jepang. Ruang bawah tanah gedung yang sebelumnya berfungsi sebagai saluran pembuangan air, sebagian dialih-fungsikan menjadi penjara bawah tanah yang sarat dengan cerita penyiksaan. Tercatat dalam sejarah, gedung ini menjadi saksi peristiwa "pertempuran lima hari Semarang." Pertempuran itu telah menggugurkan banyak pejuang dan dikubur di halaman gedung ini. Namun pada tahun 1975 makam mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.
Memasuki masa kemerdekaan bangunan ini beberapa kali berpindah tangan. Mula-mula dimanfaatkan sebagai kantor Perusahaan Jawatan kereta Api (PJKA), kemudian dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro). Kemudian menjadi kantor wilayah (Kanwil) Departemen Perhubungan Jawa Tengah hingga tahun 1994. Setelah itu, sempat ada rumor bahwa Lawang Sewu akan dirubah menjadi hotel. Namun kenyataannya gedung ini justru dibiarkan kosong tidak terawat.
Kamar mandi di lantai 2, belum tersentuh renovasi
Setelah cukup lama dibiarkan kosong, akhirnya gedung ini kembali diambil alih oleh PT Kereta Api Indonesia dan dilakukan pemugaran yang selesai pada akhir Juni 2011. Dengan semua keindahan arsitektur dan perjalanan sejarahnya yang panjang, kini Lawang Sewu menjadi daya tarik wisatawan yang ingin melihat dan mencari tahu serpihan perjalanan yang mewarnai kota Semarang di gedung ini. Bertandang ke Semarang, selain mencicipi jajanan khas lumpia di jalan Pandanaran, tak lengkap bila tidak merasakan nuansa kemegahan Lawang Sewu, yang menyimpan seribu misteri. Salam Kratonpedia.
Tampak kokoh dan gagah, namun anggun
Menara
Bangunan sisi depan dan belakang terlihat sama
Lorong yang gelap, bukan menyeramkan namun menciptakan keindahan cahaya
Pilar dan selasar di lantai dua
Selasar bagian belakang, belum tersentuh renovasi
Kombinasi warna tembok, keramik lantai dan ornamen yang tepat menjadi sangat eksotis
Selasar depan, masih direnovasi sudah kelihatan keindahannya
Kata pemandu, artinya lorong..
Corong pembuangan air dari batu
(Teks dan foto: Aan Prihandaya/Kratonpedia)