Wayang Klithik Desa Wonosoco

Foto oleh : Aan Prihandaya
Pin It

01.jpg

Desa Wonosoco berada di kecamatan Undaan, kabupaten Kudus, sekitar 20 km ke arah Purwodadi. Desa terpencil di lereng pegunungan Kendeng Utara ini menjadi istimewa karena konon desa ini merupakan satu-satunya daerah yang masih melestarikan kesenian wayang "Klithik."

Wayang klithik semacam gabungan antara wayang golek dan wayang kulit. Yaitu terbuat dari kayu seperti wayang golek namun pipih yang hampir mendekati bentuk wayang kulit. Karena terbuat dari kayu, wayang klithik tidak menggunakan cempurit (tiang penyangga wayang kulit yang lazimnya terbuat dari tanduk kerbau, bambu, atau kayu secang-KP). Debog (batang pisang) sebagai landasan dalam wayang kulit diganti dengan kayu panjang berlubang. Tidak dipilihnya kulit sebagai bahan dasar wayang, diyakini erat kaitannya dengan dikeramatkannya sapi oleh pemeluk agama Hindu saat itu.

Cara memainkan wayang klithik tidak jauh berbeda dengan wayang kulit. Adanya iringan gamelan, sinden, dan bahasa yang dipergunakan pun sama. Yang membedakan adalah ceritanya. Isi cerita wayang klitik berkisar pada babad tanah Jawa atau cerita rakyat mengenai legenda tanah Jawa, seperti cerita Menak atau Panji Semirang.

Kembali ke desa Wonosoco. Tersebutlah pak Sumarlan, atau biasa dipanggil Mbah Marlan yang secara konsisten menjadi dalang wayang Klithik di Wonosoco. Mbah Marlan menjadi dalang bukanlah karena keturunan atau warisan. Mbah Marlan berkisah bahwa proses menjadi dalang dilaluinya secara alami, tidak ada perlakuan atau persiapan secara khusus. Sewaktu muda, Mbah Marlan hanya mengamati dan memperhatikan saat dalang Prawoto dari desa sebelah memainkan wayang klithik. Dan wayang milik dalang Prawoto itu pulalah yang dia mainkan setelah perangkat wayang tersebut dibeli oleh pak lurah Wonosoco.

Mbah Marlan mulai mendalang pada tahun 1969 dan setelah itu rutin mendalang pada acara ritual Sedekah Sendang di desa Wonosoco. Prosesi adat resik-resik sendang digelar warga desa Wonosoco setiap tahun dan diadakan selama dua hari berturut-turut, yaitu setiap bulan Juli pada hari Sabtu Kliwon dan Minggu Legi. Pada hari itu Mbah Marlan mendalang sehari di Sendang Dewot dilanjutkan hari berikutnya di Sendang Gading. Kedua sendang tersebut tidak pernah habis airnya. Dari sendang inilah, warga menggantungkan kebutuhan air untuk minum, memasak dan mandi.

Menjadi dalang bukanlah pekerjaan pokok mbah Marlan. Saat itu kegiatan sehari-harinya adalah bertani. Mendalang hanya dilakukan bila ada tanggapan dari warga desa yang kebetulan punya hajat. Satu kebanggaan yang dia miliki adalah saat diundang untuk mendalang di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Namun saat ditanya kapan dan tahun berapa beliau sudah lupa.

Karena faktor usia, sejak tahun 2007 Mbah Marlan digantikan oleh putranya yang bernama Sutikno. Begitu pula yang dilakukan oleh Sutikno. Dia tidak mempelajari secara khusus ilmu pedalangan, namun hanya sekedar mengamati dan proses belajar selebihnya lebih banyak dilakukan sambil mempraktekkan apa yang pernah dia lihat saat ayahnya mendalang dulu.

Kini usia Mbah Marlan sudah tidak muda lagi. Tenaganya juga sudah banyak berkurang. Kegiatannya hanya berada di rumah, ditemani anak cucu. Bahkan mendalang dalam ritual adat desa pun sudah digantikan oleh anaknya. Namun semangatnya untuk mencintai dan merawat wayang klithik tidak pernah padam. Sering sekali beliau datang ke balai desa, mengamati dan membayangkan betapa indahnya wayang dari kayu tersebut saat dimainkan. Dia sadar, satu set wayang yang ada di hadapannya adalah satu-satunya yang tersisa, dan dia tidak rela bila wayang ini dilupakan begitu saja. Salam Kratonpedia.

02.jpgSeperangkat Wayang Klithik, konon satu-satunya yang tersisa

03.jpgGamelan yang digunakan tidak berbeda dengan gamelan wayang kulit, hanya lebih sederhana

04.jpgDemung, salah satu perangkat gamelan yang mengiringi pergelaran wayang klithik

05.jpgDengan antusias mbah Marlan menunjukkan cara memainkan wayang klithik

06.jpg
"Ini adalah adipati Minakjonggo," kata mbah Marlan.

07.jpgSabdo Palon, salah satu tokoh dalam cerita Panji

08.jpgWayang Sabdo Palon mendapatkan perlakuan khusus, disimpan dalam kain putih

10.jpgGunungan, sebagai pembuka dan penutup pagelaran wayang. Bentuknya mirip wayang kulit.

11.jpgGunungan yang aus dimakan usia

12.jpgDalam kotak merah ini perangkat wayang klithik disimpan

13.jpgSumarlan atau Mbah Marlan tidak rela bila wayang klithik dilupakan begitu saja

(teks dan foto : Aan Prihandaya/Kratonpedia)

 

 



Pin It
Maps
Photos
Recent Articles
Videos